Museum Sri Baduga Pamerkan 250 Kain Nusantara Bernilai Sejarah

Sebanyak 250 kain khas nusantara yang merupakan koleksi dari 36 museum di 27 provinsi dipamerkan pada Museum Expo 2018 di Museum Sri Baduga, Jalan BKR, Kota Bandung, 9-23 Oktober 2018. (Foto: Istimewa)

Bandung – Sebanyak 250 kain khas nusantara yang merupakan koleksi dari 36 museum di 27 provinsi akan dipamerkan pada Museum Expo 2018 di Museum Sri Baduga, Jalan BKR, Kota Bandung, 9-23 Oktober 2018. Acara tersebut akan menjadi pameran bernilai sejarah tinggi, menilik perkembangan fesyen di Indonesia.

Kepala UPTD Pengelolaan Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat Casmadi mengatakan, pameran kain nusantara ini juga menampilkan koleksi pribadi yang sengaja didatangkan langsung dari tempatnya.

“Jenis kain yang masuk ke kami sebanyak 250. Tetapi setelah diseleksi oleh kurator hanya 130 saja. Sisanya, sebanyak 120 tetap ikut pameran untuk diperkenalkan kepada publik,” kata Casmadi di Museum Sri Baduga, baru-baru ini.

Adapun, Kasi Cagar Budaya dan Permuseuman UPTD Pengelolaan Kebudayaan (Disparbud) Jabar, Eddy Sunarto mengatakan beberapa kain tenun dari Jabar yang akan dipamerkan misalnya kain batik cadasan dari Cirebon, tenun Garut, Indramayu, dan lainnya.

“Ada juga koleksi yang kami pinjam dari Bogor. Kain yang dibuat dari kulit pohon yang ditumbuk, kemudian dibuat menjadi kain,” ujarnya.

Menurutnya, pada pameran ini ditampilkan juga kain bernilai sejarah tinggi, misalnya kain tenun dari Kalimantan Tengah yang berusia cukup tua. Kain tenun itu memiliki nilai sejarah karena ada silsilah kerajaan yang mengenakannya.

“Juga kain dari Sulawesi Selatan yang motifnya cukup bagus, warisan para leluhur,” imbuhnya seperti dilansir laman jabarprov.go.id, Senin (8/10/2018).

Eddy menambahkan dari 250 kain, terutama tenun yang akan dipamerkan, cukup mewakili keberagaman kain di Indonesia. Bahkan, beberapa kain yang ada di Jabar ada yang sudah punya nilai ekonomi tinggi.

“Misalnya tenun Garut dan Indramayu. Tapi memang kalau tenun Majalaya masih harus mendapat perhatian. Seolah antara hidup dan mati,” pungkasnya.***