Pakar: Tingkatkan Sosialisasi Standar Bangunan Tahan Gempa

Sebuah bangunan pusat perbelanjaan yang roboh akibat gempa di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). (Foto: Istimewa)

Bandung -­ Gempa bumi yang terjadi di Palu dan Lombok beberapa waktu lalu, menyebabkan bangunan rusak dalam skala ringan, sedang, maupun berat. Banyaknya kerusakan tersebut salah satunya disebabkan karena tidak mengikuti kaidah bangunan tahan gempa.

Standar bangunan tahan gempa sebetulnya sudah diatur oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR. Namun di lapangan, banyak bangunan kurang memenuhi standar yang ditentukan.

“Misalnya dinding dari bata yang seharusnya dilengkapi dengan kolom-kolom pengikat, agar bisa menjaga dinding tak roboh meskipun terkena guncangan,” ujar Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Prof. Iswandi Imran, dalam acara Diskusi Terbuka Pembelajaran Gempa Lombok dan Gempa Palu untuk Mitigasi Bahaya Kegempaan dan Tsunami di Jawa Bagian Barat yang digelar di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha no 10 Bandung, Selasa (23/10/2018).

Prof. Iswandi menyampaikan, setelah gempa di Palu banyak ditemukan rumah rusak termasuk hotel-hotel yang roboh lantai dasarnya. Hal itu mengindikasikan kekuatan dinding atau beton penyangga di lantai dasar kurang kuat, misalnya itu terjadi Hotel Mercure dan Hotel Roa-roa. Namun beberapa bangunan lain seperti mall masih utuh dan berdiri kokoh karena mengikuti standar yang berlaku.

“Berbagai runtuhan yang diamati yang paling banyak ditemukan, permasalahan bangunan adalah aspek detailing,” ujarnya seperti dilansir laman PRFM, Kamis (25/10/2018).

Selain itu, menurut Prof. Iswandi, banyak ditemukan pula, bangunan dengan inti betonnya hancur karena tulangannya kurang, terjadi penyatuan tangga dalam sebuah bangunan, kerusakan elemen non-struktural seperti rangka atap baja ringan kurang ditopang sistem penguat sehingga mudah bengkok, dan banyak temuan lainnya.

Dari hasil temuan tersebut, Prof. Iswandi menyimpulkan antara lain penyebab banyaknya kerusakan bangunan setelah gempa terjadi karena inkonsistensi desain khususnya terkait ketentuan detailing, inkonsistensi kontruksi khususnya terkait bahan dan kualitas, dan penyatuan elemen-elemen non-struktural yang kaku, juga kurangnya perawatan.

Ke depannya, ia berharap kejadian tersebut menjadi pelajaran untuk menghadapi bencana serupa. Menurutnya kejadian gempa harus dijadikan acuan dalam rekonstruksi di Palu, mengingat tingkat kegempaan di Palu tinggi, perlu ada program retrofitting untuk bangunan-bangunan yang bertahan tapi terindikasi rawan terhadap gempa.

“Perlu lebih ditingkatkan lagi sosialisasi standar bangunan tahan gempa untuk wilayah Palu,” ujarnya.***