Kang Pisman Pasar Ciwastra Lahirkan Inovasi dan Nilai Ekonomi

Sejumlah produk olahan dari pemanfaatan sampah Pasar Ciwastra melalui program Kang Pisman (kurangi, pisahkan dan manfaatkan).

Bandung – Program Kurangi Pisahkan Manfaatkan (Kang Pisman) sebagai program penanganan masalah sampah di Kota Bandung perlahan mulai menampakan hasil. Di Pasar Ciwastra, setiap hari sekitar 560 kilogram dari 800 kg sampah organik bisa menjadi barang bernilai ekonomis.

Petugas Pengelolaan Sampah Pasar Ciwastra, Tatang Sobarna menuturkan sejak menggulirkan pengelolaan sampah Kang Pisman pada Maret 2019 silam, tempatnya sudah bisa mengolah sekitar 560 kilogram sampah per hari.  Jumlah tersebut sekitar 70 persen produksi sampah setiap harinya di Pasar Ciwastra.

“Mayoritas sampah pasar itu pasti organik. Ada yang dimanfaatkan menjadi pupuk, magot dan pakan,” ucap Tatang saat ditemui di tempat pengelolaan sampah Pasar Ciwastra, Rabu (21/8/2019).

Tatang menuturkan, sebelum menjalankan Kang Pisman, tim terlebih dahulu melakukan kajian tentang sampah di Pasar Ciwastra. Mulai dari jumlah, jenis, dan lainnya. Termasuk menyosialisasikan Kang Pisman kepada para pedagang. Sehingga para pedagang mulai memilah sampah di lapaknya

Dari hasil pemilihan pedagang, memudahkan proses pengangkutan dengan membagi tiga zona, yakni buah-buahan, sayuran dan sampah campuran.

“Sejak Kang Pisman diluncurkan akhir Tahun 2018, lalu pasar melakukan kajian, akhirnya kita gulirkan pada Maret 2019,” tuturnya.

Tatang menjelaskan, sampah yang terkumpul dipadatkan dulu dengan dicacah, ditumbuk atau digilng sehingga kadar airnya menjadi 1:1 (1 kg sampah dengan kandungan 1 liter air). Lalu dengan metode wasima (wadah sisa makanan) itu dimasukan ke kotak itu untuk difermentasikan. Sekitar 50 persen airnya juga keluar lagi dan setengahnya lagi tinggal dikompos.

Sedangkan sampah sayuran atau buah-buahan yang masih utuh namun tidak layak jual, pisahkan untuk membuat silase, semacam pakan ternak permentasi. Silase ini menjadi salah satu pakan khusus untu penggemukan hewan ternak.

“Jadi setelah dipilah lalu dicacah sekitar 3-5 cm, ditambah dedak lalu tambah garam dan mol terus dipermentasi secara tertutup. Setelah 5-7 hari baru bisa dipakai untuk pakan ternak. Ini kekuatannya bisa tahan sampai 6 bulan,” terangnya.

Dari hasil pemilahan Kang Pisman ini pulalah Tatang berhasil menciptakan inovasi sebuah wadah khusus untuk proses pengomposan. Dia membuat tempat pengomposan yang terbuat dari sampah cangkang buah kelapa.

Tatang memaparkan, wadah pengomposan dari serabut kelapa ini memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan mengggunakan drum ataupun metode bata terawang. Hanya saja, pembuatannya untuk saat ini masih memerlukan waktu lantaran dibuat secara manual.

“Kalau kompos kan harus ada kelembapan dan udara yang cukup, nah ini juga menyerap bau pada saat proses pengkomposan, karena kalau kurang udara muncul amonia dan H2S cairan karena kelembapan tinggi jadi bau. Ini buatnya ya kalau ga ‘ditakolan’ sendiri atau ya kalau truk ada yang jalan dilindas ban,” bebernya.

Kendati baru berjalan enam bulan, pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra ini sudah didatangi banyak orang. Mulai dari warga sekitar yang ingin belajar mengolah sampah sampai ke orang luar negeri untuk meneliti proses pengelolaan sampah.

“Kemarin-kemarin baru ada yang dari ITB, terus orang Jepang aja ke sini sampai dua kali. Waktu itu juga ada dari UNDP (United Nations Development Programs) PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bareng sama kementerian perindustrian dan perdagangan,” ungkapnya.

Tatang menuturkan, pengelolaan sampah di Pasar Ciwastra ini menjadi proyek percontohan untuk mengelola sampah di pasar tradisional. Namun juga menarik minat lantaran output yang dihasilkan dari pemanfaatan sampahnya pun memiliki nilai ekonomi.

Untuk satu liter cairan berupa bibit pupuk cair yang dihasilkan dihargai Rp 20.000. Magot hidup seharga Rp7.000 per kilogram, silase pakan ternak permentasi dijual Rp 400 per kilogram. Kemudian pupuk padat hasil pengomposan seharga Rp1.000 per kilogram dan pupuk padat sisa pengembangbiakan magot dijual Rp5.000 per kilogram.

“Belum lagi ada Ecoenzime buat pembersih yang sekarang masih kita teliti, mol, bioekstrak dan asap yang dicairkan bisa jadi bahan pengawet. Lalu sisa yang padatnya itu kan bisa menjadi media tanam. Ini juga didukung karena bagaimana caranya pasar juga ikut berusaha agar pasar lebih bersih sehingga konsumen datang,” katanya.***