Kisah Reza, Anak Sopir Lulusan ITB IPK 3,98

KILASBANDUNGNEWS.COM – “Mohon maaf, rumah Reza enggak ada nomornya.”

Kalimat tersebut diucapkan Muhammad Reza Nurrahman (22 tahun), alumnus ITB yang ber-IPK 3,98 saat menjawab chat Kompas.com tentang alamat lengkap rumahnya.

Bersama orangtua dan dua saudara kandungnya, Reza tinggal di Blok Panca Tengah RT/RW 04/03, Desa Batujajar Barat, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.

Untuk menuju rumah sederhana dengan ukuran tanah 61 meter persegi dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari Kota Bandung dengan melewati jalan raya, gang besar, kemudian gang kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor.

Rumah berlantai semen yang sudah rusak ini dulunya hanya memiliki dua kamar. Kemudian orangtua Reza mengubah dapur berukuran 2×1 meter persegi menjadi kamar yang kini ditempati Reza.

Di sanalah Reza memupuk impiannya menjadi seorang ilmuwan. Sejak SMP, ia kerap menuliskan mimpinya di dinding kamar dengan spidol.

“Waktu kelas 3 SMP nulis, ingin dapat medali emas OSN, ikut Asian Physics Olympiad, dan masuk ITB.

Saat itu enggak tahu ITB itu seperti apa. Kata guru saya, ITB salah satu kampus Fisika terbaik,” ujar Reza saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (22/10/2019).

Mimpinya tersebut satu per satu terwujud, seperti diterima ITB lewat Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Berbagai prestasi itu bisa dilihat di salah satu dinding rumah Reza. Berbagai piagam penghargaan dipajang di sana tanpa sengaja.

“Sebenarnya, piagam itu untuk nutupin dinding yang penuh lumut. Agar enggak rusak, Reza laminating piagamnya, terus dimasukkan ke pigura, dan dipajang,” tutur Reza.

Ketika ditanya siapa sosok yang ada di balik kesuksesannya, Reza menjawab orangtua, keluarga, dan para guru yang peduli padanya.

Peran orangtua

Bagi Reza, orangtua adalah segalanya. Orang yang selalu ada di sampingnya di saat susah maupun senang. Terutama ibunya, Ika Minarti.

Itu pula yang membuat Reza selalu mencari ibunya ketika sampai rumah. Ibu juga yang meyakinkan ayah Reza untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya meski hidup dalam ekonomi sederhana.

Ayah Reza, Wawan Sukendar menceritakan, penghasilannya sebagai sopir travel Jakarta-Bandung terbilang kecil.

Sehari, ia mendapatkan jatah 2 rit tarikan dengan honor Rp 70.000 per rit.

Namun, ia hanya kebagian narik 15 hari dalam sebulan. Itu artinya penghasilan kotornya dalam sebulan hanya Rp 2,1 juta untuk menghidupi lima orang.

“Kalau kena tilang polisi Rp 50.000, penghasilan saya hanya Rp 20.000,” ujar Wawan yang kini menjadi sopir pribadi dengan gaji UMK.

Dengan penghasilan sekecil itu, ia sempat putus asa dan memarahi kakaknya Reza, Muhammad Firmansyah, saat bilang ingin kuliah.

“Saya bilang, ‘kamu enggak lihat kondisi bapakmu ini? Mana mungkin kamu bisa kuliah’,” ucap Wawan.

Setelah dimarahi, keinginan anak Wawan untuk kuliah tidak surut. Melihat itu, Ika mengizinkan anaknya kuliah. Soal uang, insya Allah akan ada rezeki yang mengalir.

Ika kemudian mengatur keuangan sebisa mungkin. Hampir setiap hari mereka makan seadanya seperti nasi dan sayur, yang penting gizi terpenuhi.

Keluarga ini pun jarang makan daging.

“Mama tiap hari shalat tahajud. Itu salah satu yang membuat Reza dan kakak bisa kuliah hingga selesai,” tutur Reza.

Ada satu hal yang membuat Reza menyesal, yakni saat SD memaksa ingin ikut ziarah dengan biaya Rp 5.000. Padahal saat itu, ibunya bilang tidak memiliki uang.

Meski berhasil pergi, di tempat ziarah Reza tidak tenang. Sejak saat itu, ia bertekad tidak akan menyulitkan keluarga dalam hal uang. Ia akan menabung jika menginginkan sesuatu.

Hal itu dibuktikan dengan selalu menjadi juara umum sehingga tidak perlu mengeluarkan uang untuk buku. Saat kuliah di ITB pun, dia mendapatkan beasiswa Bidik Misi.

Keluarga ini pun saling membantu. Ketika Reza mendapatkan hadiah dari Olimpiade Sains Nasional (OSN), uangnya diberikan kepada sang kakak untuk menyelesaikan KKN dan skripsi.

Kini sang kakak sudah bekerja di SMA Darul Falah, Reza sendiri setelah lulus dari ITB dan akan off setahun untuk membuat beberapa publikasi ilmiah bersama dosennya.

“Tahun depan baru Reza lanjut S2. Pengennya nyari ilmu di luar (luar negeri),” ujar dia.

Peran guru

Reza mengatakan, orang yang tidak boleh dilupakan dalam kesuksesan kita adalah guru.

Itulah mengapa ia kerap mengunjungi gurunya saat SD, SMP, dan SMA.

Sebab saat ia berkunjung, ia akan mendapatkan limpahan doa. Berkat gurunya juga ia bertekad menjadi ilmuwan.

Kecintaannya terhadap Fisika berawal dari kelas VII SMP. Salah seorang gurunya menyebut, Fisika ITB merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia. Itulah yang membuatnya bertekad kuliah di ITB.

Menginjak SMA, ia sempat ragu melanjutkan studi ke Fisika atau teknik, karena ada anggapan FMIPA sulit berkembang di Indonesia.

Namun berkat masukan guru SMA-nya, Reza mantap memilih FMIPA sebagai pilihan pertama saat SBMPTN.

“Guru Reza bilang jangan melihat materi, lihat passion. Jadikan kemampuan itu supaya bisa memberikan manfaat untuk orang lain,” ujar dia.

Reza percaya pada sebuah hadits yang mengatakan, manusia tidak akan mati hingga Allah menyempurnakan rezekinya.***