Menimbang New Normal, Senjata Jokowi Pulihkan Ekonomi

Presiden Joko Widodo saat mengunjungi mal di Bekasi untuk meninjau kesiapan skema new normal. (Foto: Detik.com/ Rifkianto Nugroho)

KILASBANDUNGNEWS.COM – Indonesia bersiap menghadapi era normal yang baru atau new normal pada kondisi pandemi virus Corona (COVID-19). Hal tersebut diharapkan akan kembali menggerakkan kegiatan perekonomian yang laju pertumbuhannya sempat terpuruk di kuartal I-2020, yaitu hanya 2,97%.

Lantas apakah era new normal ini menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia?

Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet, hal itu tergantung kesiapan Indonesia untuk hidup berdampingan dengan virus Corona yang hingga kini belum ada vaksinnya.

“Memang kalau dilihat dari sudut pandang ekonomi, kegiatan lockdown yang terus-menerus ini tentu akan ada dampak buruknya bagi ekonomi sehingga mau tidak mau pemerintah harus mengambil jalan tengah. Dan menurut saya jalan tengah yang di-propose pemerintah saat ini adalah dengan mewacanakan untuk melonggarkan dalam hal ini PSBB,” kata dia saat dihubungi detikcom, Selasa (26/5/2020).

Namun jika Indonesia ternyata tidak siap menghadapi new normal, yang ada akan memicu gelombang kedua COVID-19 alias membuat kasus positif virus Corona melonjak. Bahkan negara yang berhasil menerapkan normal baru pun tetap terkena gelombang kedua.

Menurutnya kegiatan normal baru di tengah pandemi COVID-19 ibarat dua mata uang, ada potensi untuk meningkatkan perekonomian, tapi ada risiko peningkatan kasus positif virus Corona.

Jika pemerintah berhasil memberlakukan era normal yang baru atau new normal tanpa membuat kasus positif virus Corona melonjak, Indonesia bisa keluar dari ancaman pertumbuhan ekonomi negatif sepanjang 2020.

“Kalau kita melihat dari tren kuartal 1 yang tumbuh 2%, kemudian kuartal 2 ini kan memang ada kemungkinan dia lebih rendah dibandingkan kuartal 1. Menurut saya potensinya berada di kisaran maksimal kalau hitungan kami itu di 2%,” kata dia.

Namun ekonom lain menilai hal itu tidak akan secepat yang diharapkan.

Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad membenarkan jika era new normal memang bisa mendorong perekonomian meskipun sangat lambat. Hal itu karena aktivitas bisnis seperti mal sangat dibatasi di era ini.

“Bisa berpengaruh tapi lambat karena new normal tanda kutip harus kompromi kan. Perlakuannya kompromi, tidak full capacity. Jadi kalau diproduksi katakanlah 100% bekerja, dia hanya separuh otomatis jalannya lebih lambat. Mal biasa penuh sekarang harus separuhnya otomatis tumbuhnya separuh dari perkiraan, nggak akan bisa kembali,” kata Tauhid kepada detikcom, Selasa (26/5/2020).

Efek dari new normal ini juga tidak akan instan sehingga tidak bisa langsung mendorong laju pertumbuhan ekonomi di triwulan ke II. Kemungkinan pengaruhnya baru akan terlihat di triwulan ke III.

“Akan efektif jika di triwulan ke III itu sangat mungkin dia bisa tumbuh positif tapi pada level rendah lah tidak mungkin sampai di atas 2 atau 3%. Di atas positif lah di atas 0, itu juga lebih positif dibanding triwulan ke II ini,” ucapnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya, era new normal tidak akan bisa mengembalikan ekonomi dalam kondisi normal seperti belum ada wabah Corona. Namun setidaknya ekonomi bisa berjalan secara bertahap.

“Ukuran keberhasilan new normal bukan pada ekonomi yang kembali ke posisi sebelum wabah. Ukuran keberhasilannya adalah masyarakat bisa beraktivitas dengan menerapkan protokol kesehatan sehingga ekonomi bisa secara bertahap berjalan kembali, sementara penyebaran wabah tetap bisa dikendalikan,” ucapnya.

Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua?

Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2020 masih akan minus. Perekonomian Indonesia akan tenggelam dalam skenario terburuk -0,26%.

“Kita prediksi di triwulan ke II minus, tetap masih minus meski ada new normal. Triwulan ke II-2020 skenario beratnya -0,26%, itu paling berat ya,” kata Tauhid.

Konsumsi rumah tangga juga diprediksi turun menjadi -1,07%, konsumsi pemerintah turun menjadi -0,37%, dan investasi turun menjadi -7,92%. Lalu volume ekspor ikut turun menjadi -9% dan pertumbuhan volume impor akan menjadi -16,21%.

Mengingat di triwulan ke II ini tidak banyak aktivitas ekonomi yang berjalan. Sedangkan tersisa kurang dari dua bulan lagi triwulan ke II akan habis dan pemerintah belum secara resmi kapan akan menerapkan new normal.

“Pemerintah kan belum secara resmi tegas kapan memberlakukan new normal apakah 4 Juni atau berapa. Kalau misalnya PSBB diberlakukan kembali, tambah 2 minggu lagi otomatis sisa 2 minggu jadi pengaruh lajunya relatif kecil sekali terhadap pertumbuhan ekonomi di triwulan ke II,” ucapnya.

“Saya kira karena memang faktornya kita sudah terlampau jauh turun drastis dan walaupun ditolong di sisa triwulan II terakhir belum bisa membantu,” tambahnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya, era new normal tak akan banyak membantu mendorong daya beli dan konsumsi karena banyak masyarakat masih resah dengan kehadiran Corona.

“Konsumsi masyarakat masih akan tetap terbatas walaupun PSBB dilonggarkan. Masyarakat tidak akan terus beli baju baru, beli motor baru, beli perabot rumah yang baru. Masyarakat akan menahan diri, belanja yang pokok-pokok saja, jadi konsumsi tidak akan mengalami lonjakan,” imbuhnya. (DET)