Bandung – Para buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) Jawa Barat meminta Presiden dan DPR RI tidak membuat kebijakan terkait ketenegakerjaan di akhir masa jabatannya.

Ketua DPD FSP LEM SPSI  Jawa Barat, Muahamad Sidarta mengatakan, jika kebijakan baru dikeluarkan di akhir masa jabatannya dikawatir tidak akan memiliki legitimasi kuat atas kebijakan yang akan ditetapkan tersebut.

“Kalau mau revisi perlu dilakukan kajian mendalam dan seksama dengan melibatkan seluruh stakeholder ketenagakejaan, revisi nanti setelah terbentuk kabinet baru agar hasilnya memiliki legitimasi kuat, fair, adil dan diterima oleh semua pihak,” ucap Sidarta, di DPD FSP LEM SPSI Jabar.

Sebelumnya para pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta Presiden Joko Widodo merivisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (UUK 13/2003) yang langsung direspon oleh Presiden dengan mengundang sejumlah menterinya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI, Saleh P Daulay juga berpendapat, bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 memang sudah layak direvisi sejumlah ketentuan terkait tentang tenaga kerja kontrak/alih daya, PHK, Upah Minimum, Jaminan Sosial yang masih perlu sinkronisasi dan ketentuan tentang tenaga kerja asing.

Menurut Sidarta, UUK 13/2003 tidak mengenakan bagi pemberi kerja maupun penerima kerja, namun setidaknya sejumlah pasal melindungi pekerja yang posisinya rentan, lebih-lebih bagi pekerja yang tidak ada serikatnya.

Sidarta menyatakan, permintaan revisi UUK tersebut mencuat sejak 2006 terjadi hampir sepanjang waktu hingga sekarang yang selalu mendapat penolakan dari kalangan pekerja/buruh, karena serikat pekerja/serikat buruh tidak dilibatkan secara serius untuk menggunakan hak kontitusinya dalam menentukan arah dan kebijakan terkait ketenagakerjaan.

“Saat PP 78/2015 Tentang Pengupahan dan Permenaker 15/2018 Tentang Upah Minimum, pada hal ada lembaga kerja sama (LKS) tripartit daerah maupun nasional sebagai forum komunikasi dan konsultasi untuk memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan,” jelasnya.***


Rep: Suparno Hadisaputro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.