Bandung – Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung berkomitmen penuh untuk menjadikan kotanya ramah anak. Salah satu upayanya adalah dengan merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Bandung, Kamalia Purbani menuturkan Rancangan Perda (Raperda) ini akan lebih mengakomodasi pemenuhan hak-hak anak. Sebelumnya, Perda tersebut baru mencakup perlindungan anak terhadap kekerasan saja.
“April akan diusulkan ke DPRD agar diperluas yang tadinya penekanannya di perlindungan anak sekarang di pemenuhan hak-hak anak dan punya kebijakan Kota Layak Anak,” ungkap Kamalia di Balai Kota Bandung, Senin (25/3/2019).
Secara umum, akan ada penambahan Pasal pada Perda tersebut, yakni tentang klaster-klaster hak-hak anak. Klaster pertama adalah tentang Hak Sipil dan Kebebasan yang mencakup kelengkapan registrasi dan akta kelahiran, fasilitas informasi layak anak, dan kelembagaan partisipasi anak.
Sedangkan Klaster kedua adalah tentang lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Klaster ini mencakup hal-hal seperti pernikahan anak, lembaga konsultasi layanan pengasuhan anak, infrastruktur ruang publik yang ramah anak, dan rute aman selamat ke dan dari sekolah.
Sedangkan Klaster ketiga yaitu tentang kesehatan dasar dan kesejahteraan. Klaster ini melingkupi persalinan fasilitas kesehatan, status gizi keluarga, pemberian makan pada bayi dan anak di bawah dua tahun, fasilitas kesehatan yang ramah anak, rumah tangga dengan akses air minum dan sanitasi yang layak, hingga pengaturan Kawasan Tanpa Rokok.
Di samping itu, ada pula klaster pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya, dan rekreasi. Pada klaster ini, pengembangan anak usia dini dan integratif, wajib belajar 12 tahun, sekolah ramah anak, dan fasilitas kegiatan budaya, kreativitas, dan rekreatif ramah anak juga menjadi perhatian.
Terakhir, klaster tentang perlindungan khusus, yang mencakup perlindungan anak korban kekerasan dan penelantaran; anak yang dibebaskan dari pekerja anak; anak korban pornografi, NAFZA, dan HIV/AIDS; anak disabilitas dan kelompok minoritas; anak yang berhadapan dengan hukum (pelaku); anak korban jaringan terorisme; dan anak korban stigma.
Selain itu, ruang lingkup perlindungan anak juga diperluas. Pemkot Bandung menambahkan pasal tentang peningkatan peran perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dunia usaha, dan anak.
Penambahan-penambahan komponen dalam regulasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menciptakan kota yang layak bagi anak.
“Kota layak anak itu bukan berarti tidak ada kekerasan tetapi bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan media massa,” imbuh Kepala Seksi Pemenuhan Hak Anak, Iip Saripudin.
Hal itu diamini pula oleh Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana. Ia dengan tegas meminta seluruh elemen pemerintah untuk bisa berkomitmen terhadap upaya perlindungan anak. Bukan dengan menutupi kasus, tetapi dengan menyelesaikan hingga ke akar-akarnya.
“Kita lebih suka kalau ada masalah kita selesaikan. Kalaupun ternyata dinilai, ada upaya-upaya itulah yang dinilai, bukan menutupi kasus,” katanya.
Ia pun meminta agar semua pihak tidak hanya melihat kekerasan terhadap anak sebagai kekerasan fisik semata, tetapi termasuk kekerasan verbal. Pelabelan, perundungan, serta ucapan-ucapan yang bisa menyakiti mental anak sebaiknya dihindari. Oleh karena itu, ia meminta semua elemen perlindungan anak harus berbagi peran.
“Kita berbagi peran untuk penanganan, yang sosialisasi termasuk mungkin ada korban yang tidak mau cerita,” ucapnya seperti dilansir Humas Pemkot Bandung.***