KILASBANDUNGNEWS.COM – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah mengenakan setiap produk impor melalui e-commerce dikenakan bea masuk jika total nilainya lebih dari US$ 75. Aturan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PMK 182 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.
Belakangan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk impor seperti laptop atau barang konsumsi lainnya membanjiri tanah air. Pada saat yang bersamaan juga diketahui banyak pelaku usaha yang mengakali aturan tersebut agar terbebas dari bea masuk. Pasalny, setiap impor barang di bawah batas ketentuan tidak dikenakan bea masuk.
Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku mendapat laporan bahwa banyak pelaku usaha yang sengaja memecah nilai impor (spliting) agar terbebas dari kewajibannya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PMK 182 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. Tarif bea masuk dikenakan ketika barang yang diimpor melebihi US$ 75, sedangkan di bawah akan bebas.
“Saat ini kita tetapkan US$ 75 dolar dan itu ternyata masuk melalui angka 75, ada yang dipecah-pecah, ada yang memanipulasi harganya di bawah,” kata Sri Mulyani di Terminal Petikemas Koja, Jakarta Utara, Selasa (17/12/2019).
Dengan kejadian itu, Sri Mulyani pun akan menindaklanjuti usulan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang ingin mengenakan bea masuk bagi seluruh barang yang masuk melalui e-commerce.
Meski demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini belum menyebut apakah batasan tersebut dihapus atau akan menetapkan besaran baru total barang impor yang lewat toko online.
Nanti semua barang impor kena bea masuk?
Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto mengusulkan revisi aturan bea masuk terhadap barang konsumsi yang diimpor melalui e-commerce. Tujuannya untuk mengerem banjirnya barang-barang konsumtif.
Apalagi sebelumnya Presiden Joko Widodo pernah meminta agar impor barang-barang konsumsi dipersulit agar tidak membanjiri Indonesia.
“Untuk impor-impor yang sekarang ini kan kita sedang seleksi karena banyak barang konsumsi. Ini akan kita keluarkan kebijakan baru, terutama yang e-commerce. Banyak e-commerce ini jual barang impor yang sifatnya konsumtif. Ini juga akan kita buat revisi, baik itu tarifnya sendiri, nanti kita akan koordinasi dengan kementerian terkait,” kata Agus usai menghadiri Dialog RCEP di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Perlu diketahui, sejak Oktober 2018 impor barang melalui e-commerce dengan total nilai di atas US$ 75 dikenakan bea masuk 7,5%. Bea masuk tersebut berlaku flat alias sama untuk semua jenis barang. Di bawah harga itu, produk impor bebas bea masuk.
Agus akan mengusulkan bahwa produk yang harganya di bawah US$ 75 dolar juga dikenakan bea masuk. Sehingga, nantinya tak ada batasan pengenaan bea masuk terhadap barang impor melalui e-commerce.
“Sekarang ini kan US$ 75 dikenakan tarif nanti, ke bawah tidak. Jadi mungkin kita akan revisi, karena US$ 75 itu mengganggu produk dalam negeri. Artinya US$ 75 ini kan sekitar Rp 1 juta sekian, nah ini banyak produk luar banjir. Nanti kita akan revisi, jadi mungkin tidak (hanya) US$ 75 tapi di bawah,” jelas Agus.
Jadi batasan akan diturunkan?
Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan siap menurunkan batasan (threshold) bea masuk untuk membendung tanah air tidak kebanjiran produk impor lewat e-commerce.
“Untuk threshold kami akan lakukan pendalaman lebih lanjut, arahan pimpinan sudah jelas di situ bahwa akan ada koreksi,” kata Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi di Terminal Petikemas Koja, Jakarta Utara, Selasa (17/12/2019).
Dari aturan yang sudah berlaku, pemerintah masih menemukan tindakan curang dari beberapa importir dengan memecah nilai impor (spliting) agar tidak terkena bea masuk.
Heru mengaku, batasan tersebut akan diturunkan namun angkanya masih dibahas lebih lanjut. “Tapi di titik berapa nanti kami akan tentukan. Pasti diturunin,” tegas dia.***