Koleksi Llama di Kebun Binatang Bandung. (Sumber: Dierentuin Nummer (1937))***

TAHUN 1980-an, berkunjung ke Kebun Binatang Bandung merupakan kegiatan yang menggembirakan. Belakangan, seiring bermunculannya berbagai wahana rekreasi baru, berkunjung ke kebun binatang tak lagi jadi magnet utama. Berikut laporan dari berbagai media tentang Kebun Binatang Bandung pada tahun 1930-an.

TAHUN 1980-AN, KETIKA SAYA MASIH KECIL, piknik ke Kebun Binatang Bandung merupakan kegiatan yang menggembirakan. Setelah saya dewasa, tradisi setahun sekali piknik ke kebun binatang itu bisa dikatakan berhenti. Tentu saja, daya tarik atraksi itu sudah tergantikan dengan wahana-wahana yang barangkali lebih menarik menurut keinginan dan pertimbangan orang tua dan anak-anak sekarang. Namun, bagi saya sendiri, kunjungan-kunjungan ke kebun binatang di masa lalu meninggalkan ingatan yang membekas di benak. Bahkan, pada batas tertentu, mungkin, menjadi semacam kenangan kolektif pada generasi saya.

Sambil mengenangkan masa lalu berkunjung ke situ, saya membuka-buka pustaka lawas yang berkaitan dengan awal mula dan perkembangan kebun binatang itu. Sekalian mengobati rasa penasaran ihwal asal-usulnya. Melalui guntingan-guntingan koran berbahasa Belanda, majalah Mooi Bandoeng, dan koran berbahasa Sunda Sipatahoenan, saya akan merangkai riwayatnya.

 

Kebun Binatang Bandung di Bawah Naungan Bandoeng Vooruit

Dulu, di kampung saya, Kebun Binatang Bandung umum disebut derentén. Tentu kata tersebut adalah pengaruh dari bahasa Belanda. Kata tersebut ditimba dari istilah ”dierentuin”, yang bagi lidah Sunda lebih ringan dan enak diucapkan sebagai derentén. Sebenarnya, selain ”dierentuin” ada padanannya, yaitu ”dierenpark” dan ”diergaarde”. Memang bahasa Belanda aneh sendiri, karena pada bahasa Inggris, Portugis, Jerman, Italia, Perancis, istilah untuk kebun binatang itu sama, yaitu ”zoo”.

Adapun informasi mengenai sejarah dan perkembangan derentén Bandung, pertama-tama saya kumpulkan dari guntingan koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (NDNI). Ini bisa diawali dari edisi 22 Maret 1933. Di situ diwartakan bahwa Dewan Kota akan mengadakan rapat pada Rabu, 29 Maret 1933 terkait dengan pengalihan sebagian Tjikapoendoeng-raviju (Jubileumpark) untuk pembuatan Bandoengsch Zoologisch Park (BZP). Orang yang akan berbicaranya adalah anggota Dewan Kota sekaligus ketua Bandoengsch Zoologisch Park, H. P. Chr. Hoetjer.

Pada edisi 11 Mei 1933 ada berita mengenai proposal yang diajukan pada rapat 29 Maret 1933 terkait bantuan keuangan untuk pendirian BZP, yang disanggupi pemerintahan Kota Bandung. Kebanyakan biaya itu akan digunakan untuk membeli koleksi binatang, kandang, dan penampungan untuk memberi makan binatang. Dana yang dibutuhkan sebesar 2000 gulden. Dan pada pelaksanaan projek tersebut akan melibatkan perhimpunan Bandoeng Vooruit.

Sebelas hari kemudian, kita mendapatkan warta pada edisi 22 Mei 1933 ditambah dari Bataviaasch nieuwsblad bahwa BZP secara resmi dibuka pada Sabtu siang tanggal 20 Mei 1933 (”Zaterdag-middag jl. had onder veel belangstelling de opening plaats van het Bandoengsch Zoölogisch Park” atau ”Het Bandoengsch Zoölogisch Park is Zaterdagmiddag officiëel geopend”). Setelah gunting pita oleh Nyonya Von Wolzogen Kühr, ketua BZP H. Hoetjer mengajak peserta peresmian untuk mengunjungi kebun binatang yang baru tersebut. Koleksi pertama Kebun Binatang Bandung adalah seekor singa, seekor gajah, beberapa macan kumbang, kera, buaya, musang, dan jenis burung.

Pada 12 Juni 1933, dikabarkan koleksi Kebun Binatang Bandung ditambah dengan macan kumbang dan orangutan dari Samarinda. Sementara pengurus Natura Artis Masistra di Amsterdam akan mengupayakan dua singa muda. Dari kabar De Gooi en Eemlander edisi 16 Juni 1933, kebun binatang ini akan diperkaya oleh W. D. Rous dengan berburu badak di daerah Cibarengkok. Kemudian Rous dan A. E. M. Ballin akan berburu banteng di Miramare, Garut.

Taman bermain dan restoran Kebun Binatang Bandung. (Sumber: Dierentuin Nummer (1937))***

Memasuki tahun 1934, NDNI pada 8 Februari 1934 melaporkan tambahan koleksi sepasang rusa Jawa sumbangan dari Tuin, seekor kanguru pohon dari Papua yang merupakan donasi dari F. de Vos. Untuk membantu mengatasi masalah pengangguran dan menambah lagi atraksi Kebun Binatang Bandung, Bandoeng Vooruit berinisitif untuk menyewakan Villa Isola (NDNI, 11 Mei 1934).

Ketua BZP H. Hoetjer, dalam edisi 11 Januari 1935, melaporkan bahwa pada 7 Januari 1935 Kebun Binatang Bandung dikunjungi lebih dari 1500 orang pribumi dan 160 orang Eropa, pada 8 Januari yang merupakan hari Lebaran, dikunjungi 900 orang pribumi. Masalah yang timbul dengan adanya kebun binatang adalah kotoran binatang yang dipermasalahkan penduduk daerah Cikapayang. Selain itu, akan ada tambahan koleksi berupa dua kanguru dan emu dari Perth (Australia), seekor anoa dari Sulawesi, enam ekor kuau dari Belanda. Juga penyediaan pepohonan, pengukuran lahan untuk taman bermain anak-anak, dan soal jaga malam.

Menurut warta edisi 27 Februari 1935, pada rapat tahunan Bandoeng Vooruit yang menjadi naungan BZP, dinyatakan bahwa Bandoeng Vooruit sudah mengucurkan dana sebesar 3050 gulden untuk membangun kebun binatang tersebut. Pada 21 Juni 1935, terbaca mengenai kesediaan Tietjens, pensiunan konsultan tani, untuk mengurusi BZP selama setengah hari pada setiap harinya. Di bawah pengelolaan Tietjens, menurut NDNI edisi 7 Oktober 1935, Kebun Binatang Bandung kian maju dan menarik minat pengunjung.

Tambahan informasi tentang kepengurusan BZP ada pada De Indische Courant (16 Mei 1936). Di situ ada kabar bahwa pada rapat tahunan perhimpunan BZP di Grand Hotel Preanger, dr. Van den Akker mengundurkan diri sebagai ketua perhimpunan tersebut dan digantikan oleh dr. Swart, direktur Société franco néerlandaise de culture et de commerce.

Selanjutnya untuk periode Agustus 1936 dilaporkan ada sebanyak 7,934 pengunjung yang masuk dengan pendapatan dari uang masuk sekitar 1000 gulden. Kabar lainnya terkait dengan lomba foto yang akan diselenggarakan September 1936. Koleksinya bertambah dengan kucing boseh, seekor bajing terbang, seekor buaya, seekor lama, seekor kijang, enam kancil, seekor kanguru, dua quistiti, dan beberapa hewan kecil lainnya (“een bosehkat, een vliegende eekhoorn, een krokodil, een lama, een kidaiig, 6 kleine kantjils, een kangeroe, twee quistiti’s en neg wat kleinere dieren”). Dengan pemerintahan Srilanka juga sedang dijajaki untuk mendapatkan kuda zebra, wildebeest dan antelope. Sebagian ada ditukar ke tempat lain atau ke Belanda. Tambahan atraksi lainnya berupa permainan sepak bola dengan chimpanzee pada hari Minggu (NDNI, 5 September 1936).

 

Kebun Binatang Bandung dalam Catatan Mooi Bandoeng

Sumber kedua yang saya gunakan untuk merangkai sejarah dan perkembangan Kebun Binatang Bandung pada tahun 1930-an adalah majalah terbitan perhimpunan Bandoeng Vooruit, Mooi Bandoeng.

Pada edisi khusus ”Dierentuin Nummer: Speciale Uitgave van het Maanblad Mooi Bandoeng” (Jaargang 5) atau Nomor Kebun Binatang: Terbitan Khusus Majalah Bulanan Mooi Bandoeng (Tahun kelima, 1937). Di dalam edisi khusus ini ada kabar serbaringkas mengenai sejarah serta koleksi Kebun Binatang Bandung hingga tahun 1937.

Dalam tulisan ”Iets uit de Geschiedenis” diterangkan bahwa pada 1933, ada koleksi binatang yang disimpan di Cimindi, Bandung, yang sebagian di antaranya pernah ditempatkan di Dago. Namun, pemilik koleksi tersebut tidak sanggup lagi mengurusnya, sehingga datang ke perhimpunan Bandoeng Vooruit untuk menggabungkan koleksi binatangnya dengan Kebun Binatang Bandung. Selanjutnya dibentuk kepengurusan mengenai gabungan kebun binatang tersebut. Lahannya diperoleh dari bantuan Pemerintahan Kota Bandung. Dr. E. Jacobson en Dr. W. van den Akker adalah orang yang berperan besar dalam proses penggabungan itu.

Kemudian dalam tulisan ”Een wandeling door den Dierentuin” dijelaskan tentang satwa Kebun Binatang Bandung yang terkumpul hingga 1937. Bahkan ada bagan koleksi berikut penomoran kandangnya. Semuanya ada 59 ruangan atau kandang, dengan kekecualian nomor 59 yang berupa restoran. Misalnya, ruangan 1 adalah akuarium, nomor 3 kandang kijang, nomor 11 kandang anoa, nomor 21 kandang hewan llama, nomor 29 kandang kalong, nomor 42 orang utan, nomor 43 gajah, nomor 47 banteng, nomor 55 kanguru, dan nomor 56 kasuari.

Denah Kebun Binatang Bandung tahun 1930-an. (Sumber: Dierentuin Nummer (1937))***

Sementara dari berbagai edisi majalah Mooi Bandoeng antara 1933 hingga 1939 selalu ada pengumuman mengenai jadwal kunjungan serta harga tiket yang harus dibayarkan oleh pengunjung BZP. Jadwal kunjungannya dibuka setiap hari antara pukul 8 pagi hingga pukul 6 sore (“Dagelijks geopend van 8 u vm tot 6 u nm”).

Antara 1933-1939 itu biaya tiketnya cenderung sama. Perinciannya sebagai berikut: untuk kalangan Eropa dan Timur Asing f. 0.25 (“Entree voor Europeanen en Vreemde Oosterlingen f o.25”); anak-anak f. 0.15 (“kinderen van idem en idem f 0.15”); pribumi f 0.10 (“Inlanders f 0.10”); rombongan 30 murid sekolah dengan gurunya f. 1 (“Scholen per 30 leerlingen met een geleider f. 1”); iuran untuk keanggotaan keluarga f.1 per bulan (“Contributie lidmaatschap voor gezinnen f 1 -per maand”); dan iuran untuk keanggotaan personal f. 0.50 per bulan (“Contributie lidmaatschap voor persoonskaarten f. 0.50 – per maand”).

Selain itu, pada edisi Februari 1934 ada kabar bahwa salah satu upaya Bandoeng Vooruit untuk lebih mengenalkan BZP ke tengah khalayak adalah dengan menjadi peserta yang membuka gerai pada pekan raya tahunan di Bandung, yaitu Jaarbeurs ke-14. Bahkan katanya, gerai tersebut sempat dikunjungi oleh gubernur jenderal Hindia Belanda (“Op de 14de Jaarbeurs te Bandoeng maakte de Vereeniging propaganda door, in sarrienwerking met haar dochter, de Vereeniging Bandoengsch Zoologisch Park, een stand in te richten, die veel belangstelling trok en ook bezocht werd door ZE den Gouverneur Generaal”).

 

Kebun Binatang Bandung dalam Catatan Koran Sipatahoenan

Untuk melengkapi keterangan seputar Kebun Binatang Bandung tahun 1930-an, saya membuka-buka koleksi koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan, terutama terbitan tahun 1934 dan 1935.

Pada 29 Januari 1934, koran ini melaporkan bahwa koleksi Kebun Binatang Bandung kian bertambah banyak karena ada yang mengirim dan satwanya melahirkan. Orang yang menyumbangnya antara lain Kapitein Helleman yang memberikan dua kanguru dan dua kasuari. Selain itu, diberitakan, bahwa uncal, monyet, kelinci, dan marmot beranak. Gajah sudah dipindahkan ke tempat yang sangat kokoh. Kandang orang utan yang akan disumbangkan oleh Gebeo akan didirikan. Untuk jumlah pengunjung BZP tahun 1933, Sipatahoenan mewartakan ada 21.000 orang, terdiri dari 8000 pribumi, 8000 Eropa, dan 5500 anak-anak.

Kabar mengenai tingkah laku satwa pun dilaporkan oleh Sipatahoenan. Pada edisi 20 Maret 1934, dikabarkan mengenai buaya yang membuat sarang dari pepohonan dan bertelur, meskipun pada akhirnya tidak bisa menetas, karena bukan hasil pembuahan buaya jantan (“Kacida hanjakalna, éta endog-endogna téh, ku teu bisa megar, lantaran lain ku pamacek”).

Pada edisi 19 April 1934 ada kabar menarik mengenai penerimaan hadiah berupa kandang-kandang binatang untuk BZP. Antara lain disebutkan, ”Dicatet dina waktu dijieunna ontwerp patempatanana gajah-gajah ku Ir. Poldervaart, pagawéan beton jeung fundeering digarap kalawan gratis ku tuan Thio Tjoan Tek, beusi-beusi sina dipigawé ku Technisch Bureau ‘De Unie’ sarta témboknana ku tuan Van Haaren. Ari tina bab techniekna ditalingakeun ku tuan Van Oudgaarden”.

Adapun para penyumbang kandang adalah tuan Spaarnaay ang menghadiahkan kandang orangutan, tuan Denis kandang ular, tuan Wurbik untuk kandang gibbon, tuan Leuwener, tuan Van Wageningen untuk kiriman batu gamping (apu gamping). Selain itu, perusahaan-perusahaan seperti kereta api, kapal laut “Nederland”, Lloyd dan KPM yang menggratiskan ongkos kiriman binatang. Informasi lainnya, saat itu, anggota perhimpunan BZP mencapai 430 orang.

Sipatahoenan edisi 26 April 1934 mewartakan mengenai sumbangan seekor banteng yang sangat bagus dari J.M.A. van Balgooy di Purwokerto. Saking bagusnya, banteng itu dikatakan sebagai raja dari semua binatang (”rajana antero sasatoan”) yang ada di Kebun Binatang Bandung. Kemudian pada edisi 20 Juni 1934, ada ajakan lagi dari pengurus BZP untuk membuat kandang-kandang binatang. Untuk yang akan berkontribusi pada pembuatan kandang monyet, katanya, bisa mengirimkannya kepada Sekretaris BZP, V. Vam der Lam di Bazelweg 15, Bandung.

Beberapa minggu kemudian, pada edisi 13 Juli 1934, ada kabar yang menyatakan bahwa BZP mengharapkan bisa menambah koleksi seekor kanguru dari Australia dan sepasang banteng kecil. Disebutkan juga selama Juni 1934, BZP menerima seekor kucing hutan, burung hantu, beer, monyet, kura-kura, alap-alap, dua ekor bajing, dan tiga ekor biul. Adapun binatang hasil membeli dan menukar adalah seekor lenguaan dan tiga ekor kucing hutan.

Pada Desember 1934 tersiar kabar akan didatangkannya kanguru dari Australia yang katanya tidak ada dan belum dikenal di Tatar Sunda (“Moal sakumaha lilana deui di kebon binatang baris aya hiji sato anu tacan aya di urang mah nya éta kanguru, asal ti Australi”) dan diharapkan tiba di Bandung pada akhir bulan Januari 1935 (Sipatahoenan, 1 Desember 1934). Sembilan hari kemudian, pada edisi 10 Desember 1934, ada keterangan BZP sudah memiliki koleksi ular raja kobra atau oray totog yang besar, sangat berbisa dan kadang memakan sesama ular.

Untuk tahun 1935, informasi BZP masih berkutat di sekitar pengadaan koleksi binatang. Dari edisi 14 Januari 1935 ada kabar mengenai koleksi kanguru pohon dari Papua dan Aru. Pada edisi 1 Februari 1935, ada informasi pengelola BZP menyebarkan sirkuler yang mengajak masyarakat untuk mengirimkan tangkapan binatang dari hutan dan ladang (“Bestuur kebon binatang di Kota Bandung geus nyebarkeun sirkulir ka sakabéh kapala pagawé ménta bantuan supaya saboléh-boléh bisa ngirimkeun sato héwan anu aya di leuweung atawa di reuma”).

Seminggu kemudian, pada edisi 8 Februari, dilaporkan keanehan meong congkok (Felis viverina) yang sebelumnya tidak dikenal, tetapi kemudian dikenali sebagi ucing meneng. Mengenai kedatangan sepasang kanguru dari Australia dilaporkan pada edisi 11 Februari 1935. Katanya, kanguru itu akan dibawa dengan menggunakan kapal laut Nieuw Zeeland dan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada hari Jumat. Informasi menarik lainnya adalah penangkapan macan tutul dari hutan oleh wedana Rancah, Ciamis yang konon rencananya akan dihadiahkan kepada BZP (“Ku ajaman, cenah éta maung téh rék dikirimkeun keur tanda soca ka kebon sasatoan di Bandung”). Macan tersebut dalam keadaan bugar.

Pada 14 Mei 1935 diberitakan mengenai minat besar masyarakat yang tecermin dari berbagai kiriman binatang untuk BZP. Namun, karena terlalu banyak kiriman, akhirnya pengelola membatasi penerimaannya. Antara lain ketentuannya sebagai berikut: Menolak binatang yang sukar untuk merawatnya, yaitu pukang, tando, peusing, trenggiling dan biul; menolak kiriman binatang karena sudah banyak, yaitu monyet biasa, uncal dan kerud; sementara yang sangat dibutuhkan seperti berang-berang, serigala, landak, dan macan kumbang.

Dari rangkaian riwayat ke sumber-sumber berita mengenai Kebun Binatang Bandung tahun 1930-an di atas, barangkali bisa menjadi semacam keterangan tambahan yang sempat saya temukan terkait sejarah awal Kebun Binatang Bandung yang hingga kini masih bisa bertahan itu. Bagi saya pribadi dan pembaca yang segenerasi bahkan lebih, rangkaian riwayat di atas juga bisa menjadi semacam nostalgia kunjungan-kunjungan ke Kebun Binatang Bandung pada masa kecil.

Ditulis Oleh: ATEP KURNIA, Peminat sejarah dan budaya Sunda

Sumber dan baca selengkapnya di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.