Sejarah Kebun Binatang Bandung (2)

Logo Kebun Binatang Bandung. Sumber: Sekretariat Kebun Binatang Bandung

SEJARAH Kebun Binatang Bandung dimulai pada tanggal 27 Februari 1957 atas usaha R. Ema Bratakoesoema yang mendirikan Yayasan Margasatwa Tamansari Bandung / Bandung Zoological Garden. Sejarahnya berawal dari taman hewan bernama Bandoengsche Zoologisch Park (BZP), yang didirikan pada tahun 1933 oleh Hoogland dan kawan-kawan. Mereka adalah perkumpulan orang-orang pecinta satwa, yang terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi, seorang diantaranya adalah R. Ema Bratakoesoema.

Bandoengsche Zoologisch Park mendapat pengesahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 12 April 1933 Nomor 32, dan perkumpulan orang-orang tersebut sebagai pemiliknya. Meskipun mereka dinyatakan sebagai pemilik Bandoengsche Zoologisch Park, dominasi peranan dalam pembiayaan berada di tangan Hoogland, karena Hoogland secara ekonomi jauh lebih menonjol.

Ketika Jepang mendarat (Maret 1942), tentara dan pejabat-pejabat Belanda ditahan sebagai tawanan perang, termasuk Hoogland. Sehingga untuk sementara Bandoengsche Zoologisch Park diurus oleh perkumpulan yang beranggotakan orang pribumi, terutama R. Ema Bratakoesoema.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sebagai Negara Kesatuan yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda, yaitu dari Sabang sampai Merauke. Kemerdekaan Bangsa Indonesia itu ternyata
merupakan kebebasan pula bagi orang-orang tawanan perang dan keluarganya yang berada di camp-camp interniran (penampungan). Kemudian mereka dipulangkan ke negerinya.

Setelah Hoogland pulang ke negerinya, R. Ema Bratakoesoema mengurus Bandoengsche Zoologisch Park. Namun pada akhir 1945, Bandung bagian utara kembali dikuasai Belanda atas bantuan Sekutu. Sedangkan Bandung Selatan dikuasai RI, terutama oleh para pejuang
bersenjata, termasuk R. Ema Bratakoesoema, dengan rel kereta api sebagai demarkasi sekaligus front antara pejuang RI yang mempertahankan proklamasi melawan aggresor Belanda. Praktis Bandoengsche Zoologisch Park tidak terurus karena terletak di Bandung bagian utara, sedangkan R.Ema Bratakoesoema di Bandung bagian selatan.

Walaupun begitu, R. Ema Bratakoesoema secara rutin memerintahkan kepada beberapa anggota pasukannya berupaya menyelundup ke Bandung Utara untuk mengetahui keadaan satwa-satwa penghuni Bandoengsche Zoologisch Park.

Pada bulan maret 1946, keluar keputusan pemerintah RI di Jakarta yang memerintahkan pasukan-pasukan pejuang bersenjata mengosongkan kota Bandung.

Diawali dengan gerakan Bandung Lautan Api, pada tanggal 24 Maret 1946 malam, pasukan-pasukan pejuang bersenjata mundur keluar kota Bandung sejauh radius 11 Km. Pasukan Laskar Rakyat mundur ke arah selatan ke seberang sungai Citarum. Sejak itu seluruh kota Bandung dikuasai oleh Belanda. Akibatnya Bandoengsche Zoologisch Park menjadi semakin tidak menentu dan kebun binatangnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah terjadi Agresi Militer Belanda I pada bulan Juni 1947 yang berdampak R. Ema Bratakoesoema memusatkan perhatian dan aktivitasnya untuk memimpin pasukan pejuang melakukan perang gerilya
melawan agressor Belanda.

Tatkala keluar keputusan pemerintah Republik Indonesia yang memberi kesempatan kepada semua laskar perjuangan untuk bergabung dengan tentara resmi pemerintah Republik Indonesia (TNI), R. Ema Bratakoesoema memberi kebebasan kepada semua anak buahnya (Laskar Rakyat) untuk memilih masuk menjadi TNI atau akan kembali ke tengah-
tengah masyarakat biasa. R. Ema Bratakoesoema sendiri ditawari pangkat Mayor jika bersedia masuk TNI. Namun, beliau memilih untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat demi memenuhi tuntutan hati nurani yang ingin berbakti dan mencurahkan perhatian bagi kejayaan tanah tumpah darahnya, Tatar Sunda. Adapun anak buahnya sebagian memilih masuk TNI dan sebagian lagi kembali ke masyarakat.

Ketika Belanda meluncurkan Agresi Militer ke II, R. Ema Bratakoesoema sudah berada di kota Bandung dan menjadi Wethouder di Pemerintah Daerah Kota Bandung dan menyempatkan mengadakan upaya penyelamatan satwa penghuni Bandoengsche Zoologisch Park yang
tersisa. Hal itu dilakukan terdorong oleh rasa kasihan terhadap satwa-satwa penghuni Bandoengsche Zoologisch Park, yang menurut perhitungannya sudah sangat terlantar.

Mulai tanggal 1 Januari 1950, Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Agustus 1949 sampai Nopember 1949. Berkaitan dengan itu, pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung serah terima tanggung jawab keamanan dari KNIL kepada Tentara Republik Indonesia. Serah terima itu disaksikan oleh Gubernur Jawa Barat selaku Komisaris Komando Jawa untuk Jawa Barat, Ir. R. H. Ukar Bratakoesoema (adik kandung R. Ema Bratakoesoema).

Pada pertengahan tahun 1956, Hoogland dan beberapa temannya dari Belanda kembali ke Bandung. Mereka mendapati keadaan Bandoengsche Zoologisch Park tidak terawat, lahan taman hewan (istilah yang dipakai waktu itu untuk kebun binatang) tampak seperti hutan karena ditumbuhi oleh tumbuhan liar, kandang-kandangnya rusak, dan satwa hidup yang terselamatkan oleh R. Ema Bratakoesoema tinggal sedikit. Melihat keadaan tersebut, Hoogland yang sejak awal mendominasi kepemilikan Bandoengsche Zoologisch Park berunding dengan R. Ema Bratakoesoema untuk membicarakan nasib dan masa depan Bandoengsche Zoologisch Park. Dalam perundingan tersebut disepakati tiga hal, yaitu:
(1) Membubarkan taman hewan Bandoengsche Zoologisch Park;
(2) Melikuidasi sisa kekayaannya; dan
(3) Mendirikan badan hukum baru untuk melangsungkan usahanya.

Berdasarkan kesepakatan tersebut diatas, pada tanggal 22 Februari 1957, R. Ema Bratakoesoema mendirikan Yayasan Margasatwa Tamansari atau Bandung Zoological Garden. Yayasan ini menerima hibah sisa kekayaan Bandoengsche Zoologisch Park berupa hak pakai tanah seluas 16 hektar beserta isinya. Sebagai tanda penghargaan kepada W. H.
Hoogland, R. Ema Bratakoesoema menunjuk Hoogland sebagai ketua yayasan serta memasukkan pula beberapa orang Belanda yang pernah menjadi pengurus Bandoengsche Zoologisch Park.

Pada akhir tahun 1957, W. H. Hoogland dan kawan-kawannya dari Belanda pulang kembali ke negeri mereka. Selanjutnya R. Ema Bratakoesoema memimpin Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT) dan sekaligus kebun binatangnya hingga wafat pada tahun 1984.

R. Ema Bratakoesoema tidak mempunyai cukup dana untuk membangun kembali Kebun Binatang Bandung yang keadaannya sudah porak poranda. Sementara keadaan ekonomi dan perbankan nasional waktu itu juga belum berkembang. Padahal disadari betul bahwa untuk
membangun kembali kandang-kandang dan menambah satwa-satwa koleksi memerlukan dana yang tidak sedikit. Disamping itu, sudah barang tentu diperlukan pula tenaga-tenaga karyawan yang kecakapannya sesuai. Sedangkan pada waktu itu, pengangkatan karyawan tidak didasarkan pada keahlian atau kemampuan pengurusan satwa, melainkan didasarkan pada kesediaan dan kesanggupan merawat satwa, antara lain membangun kandang-kandang, dan membersihkan lahan kebun binatang yang seperti hutan liar. Namun, dengan memeras tenaga dan pengorbanan harta benda miliknya, didorong oleh cita-cita mencapai hasil setinggi-tingginya, taman hewan yang porak poranda itu dapat dibangun dan dikembangkan kembali hingga kemudian menjadi Kebun Binatang Bandung yang sekarang ini.
Kepengurusan Kebun Binatang Bandung setelah R. Ema Bratakoesoema yang wafat pada tahun 1984 dilanjutkan oleh para penerusnya yang selalu menjunjung tinggi cita-citanya. (Sumber: Sekretariat Kebun Binatang Bandung)