Bandung – Sampah plastik biasanya menjadi limbah atau didaur ulang sebagai produk kerajinan dan bahan industri. Namun di tangan Dimas Bagus Wijanarko, sampah plastik bisa diubah menjadi bahan bakar minyak yang bisa digunakan untuk sepeda motor.
Dengan menggunakan bahan bakar dari sampah plastik, Vespa tua milik Dimas telah menempuh perjalanan Jakarta – Bandung atau sekitar 150 km. Dimas rencananya akan menempuh perjalanana Jakarta – Bali atau sekitar 1.200 km.
Dalam perjalanannya, penggagas kampanye Gerakan Tarik Plastik atau Get Plastik ini menyempatkan singgah di Kota Bandung untuk menggelar workshop mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar.
Bertempat di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung, Jln. Sadang Serang, Dimas dan Komunitas Get Plastik membuktikan bahwa sampah plastik bisa diubah menjadi bahan bakar.
Meskipun yang dihasilkan adalah bahan bakar, peralatan yang digunakan terhitung sederhana. Hanya serangkaian pipa yang terhubung dengan tabung vakum bertekanan tinggi. Tabung tersebut tersambung dengan gas elpiji yang berfungsi sebagai pemanas.
Tak lama, ia memasukkan segumpal sampah plastik yang telah disiapkan ke dalam tabung vakum. Tabung itu dipanaskan hingga mencapai 400 derajat Celcius. Lima menit kemudian, tetesan-tetesan minyak murni keluar dari pipa setelah melewati jalur ‘pendinginan’.
Dimas menggunakan teknik bernama distilasi bertingkat itu untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar. Metode yang digunakan adalah pirolisis, yakni proses dekomposisi termokimia bahan organik melalui pemanasan tanpa menggunakan oksigen, atau dengan kadar oksigen sesedikit mungkin.
Metode ini hanya menghasilkan residu berupa black carbon atau arang yang dapat dengan mudah terurai secara organik, serta gas propylene yang tidak berbahaya. Dimas memerlukan riset selama 4 tahun untuk menggunakan metode ini.
“Saya bukan akademisi, bukan teknisi, saya berbekal ilmu-ilmu yang saya baca dari artikel saja,” tutur Dimas.
Ia mengaku bukan pencipta alat ini. Metode pengubahan bahan plastik menjadi bahan bakar ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu.
“Saya hanya merakit kembali dan menggunakannya untuk mengampanyekan pengurangan sampah plastik,” akunya.
Gagasan itu tumbuh berawal dari fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok. Dalam satu tahun, ada 180 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Hal itu membuatnya resah.
“2014 saya mulai riset dan mengabdikan diri saya total untuk hal ini sampai detik ini,” tuturnya.
Ia mengatakan, ada banyak cara untuk mengolah sampah plastik. Namun menurutnya, metode ini cukup efektif untuk menghilangkan sampah yang paling sulit terurai itu.
“Plastik yang dibuat di Indonesia itu 80-85 persennya adalah minyak. Sisanya itu black carbon atau microplastik. Makanya proses penguraiannya lama karena sebagian besarnya minyak. Sementara itu fossil itu butuh waktu ratusan tahun untuk jadi minyak lagi,” paparnya.
Dengan mengubahnya menjadi bahan bakar, ia beranggapan bahwa sampah ini akan bernilai ekonomi jika dilakukan penelitian lebih serius. Namun bagi Dimas, yang terpenting saat ini adalah mengurangi sampah itu agar tidak terus menumpuk.
“Kalau dibakar justru lebih berbahaya. Residunya jadi karbonmonoksida yang berbahaya, masuknya ke sampah B3,” katanya.
Minyak yang dihasilkan dari hasil distilasi ini bisa berupa solar, premium, maupun minyak tanah. Kendati begitu, nilai oktan yang terdapat pada hasil distilasi ini belum sama dengan standar yang diberlakukan oleh Pertamina.
“Ini nilai oktannya hanya 82, di bawah premium. Tapi bilangan oktan tidak mempengaruhi kinerja karena mesin yang saya pake 2 tak,” tuturnya.
Usai mempraktekkan metode distilasi di Bandung, Dimas langsung bertolak ke Rajagaluh, Majalengka. Melewati 15 titik pemberhentian, Dimas dijadwalkan tiba di Bali pada tanggal 30 Juni 2018.***