KILASBANDUNGNEWS.COM – Bagi masyarakat Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung sudah tidak asing dengan produksi keripik singkong yang berada di Kampung Cijati. Produksi keripik itu telah ada sejak puluhan tahun silam.
Di lokasi tersebut beberapa warganya lebih memilih berbisnis memproduksi camilan keripik singkong. Salah satunya adalah keripik singkong Sari Asih.Pemilik keripik singkong Sari Asih, Euis Hamidah (57) mengatakan, telah memulai bisnis keripik singkong sejak 20 tahun silam. Awalnya penjualan keripik tersebut dipasarkan hanya di SDN Cijati yang berada tak jauh di rumahnya.
“Keripik ini dari tahun 2002 lalu, langsung produksi, dengan nama Sari Asih. Awalnya hanya dijual di sekitar sini aja,” ujar Euis, saat ditemui detikJabar, Selasa (26/7/2022).
Tak berlangsung lama, penjualan keripik singkongnya langsung bisa dijual ke beberapa daerah di Jawa Barat. Bahkan, di era digital saat ini bisa menjual hingga luar pulau Jawa.
“Kirimnya ada yang ke Subang, Gedebage, dan dijual di sekitar sini aja sebagian. Ke luar Pulau Jawa juga suka ada, lewat online,” katanya. Menurutnya penjualan tersebut dibantu dengan adanya reseller yang dimilikinya. Sehingga penjualan bisa semakin berkembang.
“Apalagi kan kita juga punya reseler, mereka bawa ke sini, kadang kalau banyak kita yang anterin ke sana, terus mereka yang jual secara online juga. Resellernya sekarang udah ada sekitar ada 12 orang,” jelasnya.Euis mengatakan singkong yang dibuatnya menjadi keripik berasal dari petani sekitar tempat produksi. Tapi ada juga yang dikirim dari beberapa daerah di Jawa Barat.
“Singkongnya dikirim dari Subang, Sukabumi, dan beberapa juga singkongnya dari kebun terdekat juga ada,” ucapnya.Rasa keripik singkong tersebut hanya memiliki dua rasa, yakni pedas dan original. Dari segi harga pun dijual bervariatif.
“Rasanya pedes sama asin aja, cuma di sini hanya keripik singkong dan comring (comro kering). Harga penjualan per bal Rp 120 ribu per lima kilo. Kalau yang dipak kecil-kecil harganya Rp 7.500 isi di dalemnya 25 bungkus, itu yang buat jualan Rp 500 per bungkusnya di warung,” kata Euis.
Selain itu, Euis mengaku sempat mengalami penurunan produksi keripik saat pandemi COVID-19 melanda. Namun, saat ini ia bersyukur penjualannya mulai meningkat kembali.
“Kemarin pas COVID-19 penjualan sempat berkurang, sekarang alhamdulillah mesat lagi, nggak merosot kayak dulu. Dulu pas COVID-19 seminggu hanya 2 ton produksinya. Sekarang alhamdulillah naik lagi sehari bisa 8 kuintal,” tuturnya.
Dia menambahkan di pabrik keripik yang dimilikinya tetap mempertahankan cara masak dengan menggunakan kayu bakar. Alasannya karena memakai kayu bakar lebih mudah.
“Masak menggunakan pembakaran api manual tidak mengalami kesulitan. Bahkan normal-normal aja penggorengannya. Termasuk irit menggunakan pembakaran tersebut. Satu colt (pikap bak terbuka) kayu bakar bisa kepakai masak sekitar dua hari. Suluhnya juga udah ada yang ngirim rutin ke sini,” pungkasnya. ( sumber : detik.com )