Bandung – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung meminta seluruh rumah sakit mematuhi Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Sistem Rujukan Terpadu (Sisrute). Pasalnya, saat ini belum semua rumah sakit menjalankan hal tersebut.
Kepala Dinkes Kota Bandung Rita Verita membeberkan, salah satu penekanan sistem tersebut adalah pada penanganan pasien gawat darurat terutama yang memerlukan rawat inap. Persoalan di lapangan, terkadang keluarga pasien bingung harus mencari rumah sakit karena penuh.
Padahal, sistem tersebut mengharuskan rumah sakitlah yang mencarikan ruangan kosong bagi pasien jika di rumah sakit tersebut penuh. Petugas telah dibekali Sisrute untuk mengecek ketersediaan kamar rawat berbagai kelas di 35 rumah sakit di Kota Bandung.
“Kalau itu semua sudah berjalan, kita tinggal lihat semua rumah sakit yang kosong. Misalnya kelas tiga, tinggal klik masuk ke Sisrute,” paparnya di Balai Kota Bandung, Rabu (22/5/2019).
Rita menyampaikan hal tersebut pada Forum Kemitraan Kesehatan Kota Bandung. Di forum itu, hadir perwakilan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Barat dan berbagai stakeholder lainnya.
Selain itu, sistem itu juga mendorong rumah sakit untuk memperlakukan semua pasien dengan sama, baik pasien BPJS maupun pasien umum. Dengan begitu, tak ada alasan bagi rumah sakit untuk meminta pasien BPJS untuk beralih ke layanan umum guna memperoleh kamar rawat.
“Mau BPJS mau umum kalau tempat tidurnya ada, ya ada. Jangan sampai kalau BPJS nggak ada karena penuh, pasiennya dijadikan umum, jadi ada,” tegas Rita.
Pernyataan itu didukung penuh oleh Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna. Menurutnya, urusan kesehatan adalah layanan dasar yang harus diterima oleh semua warga yang membutuhkan.
Bahkan, ia ingin layanan kesehatan di Kota Bandung tak memandang status sosial dan status kependudukan. Meskipun kepada bukan warga Bandung, layanan kesehatan di Kota Bandung harus diberikan secara prima.
“Kan di kita banyak mahasiswa yang belajar, dari UPI sampai UIN, dari Unpar sampai Unpas. Kalau mereka orang Sumedang berobat di Kota Bandung masa kita tolak,” katanya.
Hal serupa berlaku pula bagi warga luar kota yang bekerja di Kota Bandung. Hak dasar terhadap kesehatan tetap harus diberikan.
“Soal layanan dasar saya tidak ingin bicara administrasi. Kalau layanan dasar, ya semua yang tinggal di Bandung harus dilayani dengan baik,” tegasnya.
Ia berharap, seluruh stakeholder kesehatan di Kota Bandung bisa bersinergi untuk melayani masyarakat dengan prima. Jika dimungkinkan, seluruh layanan bisa ditingkatkan.
“Kita punya 80 puskesmas. Tapi belum semua memiliki fasilitas rawat inap, misalnya. Itu harus diupayakan agar masyarakat tidak perlu ke rumah sakit, karena antrinya pasti lebih banyak,” katanya.***