Bandung – Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, Dewi Kaniasari mengakui hingga kini Kota Bandung belum memiliki ikon utama yang bisa merepresentasikan kota. Padahal setiap tahunnya Kota Bandung dikunjungi sekitar 6,9 juta wisatawan dan telah tumbuh menjadi kota wisata.
Untuk itu Disbudpar Kota Bandung mengajak sejumlah pakar untuk mengaji objek yang dapat menjadi ikon kota.
“Kota lain punya ikon khas sehingga menjadi daya tarik. Paris punya menara Eiffel, Sydney punya Opera House, nah Bandung perlu hal itu untuk menjadi daya tarik utama. Dampaknya bisa untuk para pengrajin souvenir,” tutur Dewi dalam Bandung Menjawab di Taman Sejarah Balai Kota Bandung, Selasa (15/5/2018).
Kenny, sapaan akrab Dewi Kaniasari mengungkapkan, pengkajian telah dimulai sejak Desember 2017. Melalui Focus Group Discussion (FGD), para pakar budaya, desain, linguistik, dan lain-lain berkumpul dan membahas ikon kota Bandung.
Pakar sejarah Universitas Padjadjaran, Reiza D. Dienaputra mengungkapkan, para pakar telah merumuskan empat indikator untuk menentukan ikon Kota Bandung. Salah satunya adalah adanya representasi sejarah Kota Bandung dalam objek tersebut.
“Selain harus memiliki sejarah, indikator lainnya adalah memiliki keunikan yang tidak ada di tempat lain. Objek itu juga harus menimbulkan kebanggaan lintas generasi, yang semua orang bangga terhadap hal itu. Indikator keempat adalah memiliki spirit kejuangan,” ujar Reiza.
Berdasarkan indikator tersebut, terpilihlah lima kandidat ikon Kota Bandung yang masuk ke dalam tahap finalisasi. Kelima objek tersebut adalah Gedung Sate, Gedung Merdeka, Jembatan Pasopati, Monumen Bandung Lautan Api, dan Bandung Creative Hub.
Secara linguistik, kelima objek tersebut juga dikaji oleh Susi Yulianti dari Universitas Padjadjaran dengan menggunakan metode korpus.
Metode linguistik ini menggunakan data dari kumpulan ujaran yang tertulis atau lisan untuk menguji hipotesis tentang struktur bahasa. Susi menggunakan dua korpus, yakni korpus Leipzig yang memiliki koleksi 1,2 miliar kata dalam bahasa Indonesia. Sedangkan korpus lainnya yaitu Indonesian WaC yang memiliki koleksi 192 juta kata.
Hasilnya cukup memuaskan. Dari kedua korpus tersebut, tingkat kemunculan frasa “Gedung Merdeka” dan frasa “Gedung Sate” paling tinggi. Kendati begitu, kedua frasa tersebut berbeda jumlah kemunculannya di tiap-tiap korpus.
Susi mengungkapkan, di Indonesian WaC, ‘Gedung Sate’ paling populer. Tingkat kemunculannya paling tinggi. Kedua adalah ‘Gedung Merdeka’, disusul ‘Jembatan Pasopati’. Sementara itu di Leipzig, ‘Gedung Merdeka’ jauh lebih tinggi dari ‘Gedung Sate’.
“Di Leipzig, kata ‘Gedung Merdeka’ ada 66.000 kali kemunculan. Sedangkan ‘Gedung Sate’ hanya 2.500 kali kemunculan,” kata Susi.
Tak hanya soal ikon, Disbudpar Kota Bandung juga mengaji cenderamata utama Kota Bandung. Tim yang sama menentukan empat indikator, yaitu adanya representasi kebudayaan daerah, memiliki keunikan, memberikan kebanggaan. Indikator lainnyayaitu dinamik bagi terjadi pemutakhiran sehingga mengikuti arus utama dari budaya pop.
Berdasarkan indikator tersebut, terpilihlah 10 kandidat cenderamata khas Kota Bandung yang dianggap paling memenuhi kriteria. Kesepuluh cenderamata itu adalah Gedung Sate, Gedung Merdeka, Monumen Bandung Lautan Api, Jembatan Pasopati, Gelora Bandung Lautan Api, tari jaipong, karinding, kujang, peuyeum, dan batagor.
Tugas dari Disbudpar Kota Bandung selanjutnya adalah memperkuat ikon-ikon tersebut agar masyarakat dan wisatawan semakin mengenal cenderamata khas Kota Bandung.
Menurut pakar Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, Intan Rizky Mutiaz, ikon-ikon tersebut bisa menyampaikan cerita.
“Saat ini yang paling penting adalah story sehingga Bandung punya cerita dengan ikonnya sendiri,” ungkapnya.
Hingga kini, kajian tersebut telah berada pada tahap finalisasi. Para peneliti kini tengah menunggu tanggapan dari warga Kota Kota Bandung atas hasil kajian tersebut.
“Karena ini kan milik warga Kota Bandung juga,” tutur Intan.***