KILASBANDUNGNEWS.COM– Kebijakan Gubernur terkait penetapan besaran Struktur dan Skala Upah (SUSU) bagi pekerja menjadi isu krusial di Jawa Barat. Penerbitan KepGub Jawa Barat No. 561/Kep.874-Kesra/2021 dan KepGub Jawa Barat No. 561/Kep.882-Kesra/2022 mengenai Penyesuaian Upah bagi Pekerja dengan Masa Kerja Satu Tahun atau Lebih telah menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan dunia usaha.
APINDO Jawa Barat telah mengambil langkah hukum terhadap kebijakan tersebut. Gugatan terhadap KepGub No. 561/Kep.874-Kesra/2021 telah dimenangkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, gugatan terhadap KepGub No. 561/Kep.882-Kesra/2022 mengalami kekalahan hingga kasasi, padahal sebelumnya telah diterbitkan KepGub Jabar No. 188.44/Kep.783-Kesra/2023 yang mencabut kedua KepGub tentang Struktur dan Skala Upah (SUSU).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat Ning Wahyu mengatakan bahwa persaingan dunia usaha saat ini sangat ketat, tidak hanya antarnegara, tetapi juga antarprovinsi dan bahkan antarkabupaten/kota. Ia juga menyoroti tingginya UMK di Jawa Barat, di mana 4 dari 5 daerah dengan UMK tertinggi di Indonesia berada di Jawa Barat, yaitu Kota Bekasi, Kab Karawang, Kab Bekasi, dan Kota Depok.
“Apabila ditambah dengan penetapan besaran Struktur dan Skala Upah (SUSU), maka hal ini semakin menurunkan daya saing Jabar,” ucap Ning, dalam Members Gathering dan Diskusi Publik Kepastian Hukum Struktur dan Skala Upah di Hotel Luxton Bandung, Minggu (20/10/2024).
Menurut Ning, meskipun Jabar menjadi tujuan investasi terbesar di Indonesia dengan realisasi investasi mencapai Rp 210 triliun atau 14,8% dari total nasional sebesar Rp 1.418 triliun, banyak perusahaan yang justru melakukan relokasi ke luar Jawa Barat atau bahkan tutup.
“Dari 2019 hingga 2022, tercatat ada 29 perusahaan padat karya yang relokasi ke Jawa Tengah, dan pada 2023, setidaknya lima perusahaan besar tutup dengan total 15.000 karyawan ter-PHK. Dan pada 2024 hingga Juli, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan lebih dari 5.500 karyawan di Jawa Barat telah terkena PHK,” papar Ning.
“Ketika Gubernur mengeluarkan KepGub SUSU, saya meyakini hal tersebut menyalahi aturan, dan saya mengimbau para pengusaha untuk tidak mengikuti aturan yang salah tersebut. Karena jika aturan ini dipatuhi, maka akan semakin banyak pabrik yang berpotensi tutup,” imbuhnya.
Ning berharap agar segala bentuk politisasi yang berkaitan dengan dunia usaha segera dihentikan, karena hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan sangat memberatkan para pengusaha yang mana saat ini sudah menghadapi banyak tantangan, baik terkait dengan persaingan, produktivitas, geopolitik, perizinan dan banyak lagi.
“Pentingnya memberikan edukasi dan pemahaman yang jelas mengenai berbagai regulasi kepada para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Tanpa upaya ini, dikhawatirkan akan timbul keresahan dan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha, yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran operasional investasi dan kondusivitas dunia usaha,” tututnya.
Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi menegaskan bahwa kedua KepGub tersebut problematik dalam konteks hukum. Dalam UU Cipta Kerja ditegaskan bahwa pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah (SUSU).
“Satu-satunya entitas hukum di Indonesia yang berwenang menyusun SUSU adalah pengusaha. Bukan gubernur, bukan bupati, bukan wali kota, bukan Menteri Tenaga Kerja, bahkan bukan Presiden”.
Menurut Ahmad, dalam PP No. 36 Tahun 2021 yang merupakan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja, ditegaskan bahwa satu-satunya subjek hukum yang bisa menyusun SUSU, termasuk menentukan persentase, golongan, jabatan, dan indikator penentuannya, adalah pengusaha dan bersifat wajib.
“Peraturan ini dipertegas lagi dalam Permenaker No. 1 Tahun 2017, yang isinya juga secara jelas menyebutkan bahwa SUSU dibuat oleh pengusaha. Sehingga, siapapun di negara ini, selama mengikuti UU Cipta Kerja, PP Pengupahan, dan Permenaker tersebut, maka tidak boleh menegasikan ketentuan ini,” tegasnya.
Ahmad Redi juga menekankan bahwa tindakan Gubernur saat itu, jelas merupakan penyalahgunaan wewenang. Tidak ada satu pun aturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, PP, atau Permenaker yang memberikan kewenangan atributif kepada gubernur untuk membuat struktur dan skala upah. Dengan demikian, keputusan yang dibuat oleh Gubernur sebelumnya telah melampaui kewenangannya, bahkan sewenang-wenang dalam membuat keputusan SUSU”.
“2 KepGub tersebut cacat substansif. Keputusan yang mengatur besaran SUSU sebesar 6,12% hingga 10%, adalah sesat secara substansif karena di Permenaker telah diatur bagaimana cara menghitungnya, dan ada formula yang jelas. Sehingga hal ini tidak bisa diputuskan secara sembarangan,” jelas Ahmad.
Sementara itu, Boyamin Saiman selaku Ketua MAKI menyampaikan bahwa KepGub tentang pencabutan 2 KepGub tersebut sampai sekarang belum pernah diuji. Kalaupun diuji sekarang maka sudah terlambat, karena telah melewati batas waktu 90 hari sejak KepGub pencabutan tersebut terbit.
“Kita malu pada hukum di Indonesia di mana ada dua putusan level kasasi yang sangat berbeda dengan tema yang sama. Putusan kasasi tentang gugatan KepGub No. 561/Kep.882-Kesra/2022 yang mengalahkan APINDO itu tidak berlaku, karena kedua KepGub tentang SUSU telah dicabut oleh PJ Gubernur, yang artinya objek hukumnya sudah tidak ada lagi,” bebernya.
Boyamin menyarankan adanya upaya judicial review terhadap Pasal 90A UU Ciptaker, untuk menegaskan pentingnya melindungi seluruh warga negara, termasuk pengusaha, yang berkontribusi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung perekonomian.
“Intervensi kekuasaan dalam kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang diatur dalam pasal tersebut perlu ditinjau ulang agar sesuai dengan semangat konstitusi, khususnya alinea keempat UUD 1945 yang mengamanatkan perlindungan bagi seluruh warga negara, sehingga negara harus hadir untuk memastikan adanya perlindungan yang adil bagi kedua belah pihak,” pungkasnya. (PARNO)