Bandung – Yayasan Thalasemia Indonesia mencatat Jawa Barat sebagai provinsi dengan kasus talasemia tertinggi se-Indonesia dengan jumlah penyandang mencapai 40 persen dari total sekitar 9.000 kasus secara nasional.
“Di Jawa Barat penyandang talasemia mencapai 40 persen dari angka nasional atau sekitar 3.264 orang,” ujar Konsultan Hematologi Onkologi dari Rumah Sakit Umum Pemerintah Hasan Sadikin (RSHS) Bandung Susi Susanah saat perayaan Hari Talasemia Internasional di Trans Studio Mall, Kota Bandung, Selasa (8/5/2018).
Menurut dia, Jawa Barat masuk dalam wilayah yang masuk dalam garis sabuk talasemia dunia. Dengan kata lain, tidak ada daerah di Jabar yang bebas dalam kasus penyandang talasemia.
Sedangkan di Bandung Raya jumlah penyandang talasemia berjumlah sekitar 800 orang. Khusus kota Bandung ada sekitar 300 orang yang sebagian besarnya berobat ke RSHS.
Susi mengatakan, talasemia merupakan suatu penyakit kelainan darah merah yang diidap seseorang akibat faktor genetika. Kelainan darah ini ditandai oleh kondisi sel darah merah yang mudah rusak tanpa dibarengi perkembangan sel-sel darah merah baru.
Seseorang yang mengidap talasemia diindikasikan mengalami kerusakan sel darah merah dengan cepat hingga tiga kali lipat dari orang normal pada umumnya.
Menurutnya, penyandang talasemia atau Taller sangat bergantung pada transfusi darah dan obat-obatan. Dalam sebulan mereka harus melakukan transfusi darah satu hingga empat kali tergantung kerusakan yang dialaminya.
Pengobatan talasemia tergolong sangat mahal. Dalam satu bulan Taller harus mengeluarkan biaya paling minimal Rp.10 juta untuk tranfusi darah dan obat-obatan lainnya.
“Belum ada obat yang bisa menyembuhkan talasemia. Jadi mereka akan menanggungnya hingga akhir hayat,” kata dia.
Tak hanya itu, para Taller juga tidak boleh mengonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi. Adapun makanan yang dilarang seperti telur, ikan, daging, hingga sayuran hijau.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai itu melalui pernikahan. Kata dia, talasemia dapat dicegah dengan upaya deteksi dini yakni dengan menghindari pernikahan sesama penyandang atau pembawa sifat Talasemia.
Seseorang yang menikah dengan sesama penyandang talasemia dapat dipastikan keturunannya bakal mengidap kelainan serupa bahkan lebih parah dibanding orang tuanya.
Sementara apabila Taller menikah dengan orang normal, maka kesempatan memiliki keturunan yang bebas dari talasemia cukup tinggi.
“Kalau calon ibu dan ayah ingin tetap menikah kemungkinan anaknya lahir 25 persen normal, 50 persen pembawa sifat dam 25 persen akan melahirkan talasemia mayor,” katanya.
Untuk itu, ia menyarankan sebelum menikah, calon pasangan melakukan screening atau mengetes darah untuk bisa mengetahui potensi penurunan penyakit talasemia pada keturunannya.
“Deteksi dininya screening sebelum menikah,” kata dia.***