KILASBANDUNGNEWS.COM – Di tengah pro dan kontra rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait pembatalan Undang-undang Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), muncul hasil survei mengenai hal itu.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari hasil survei menyebutkan sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden Joko Widodo menerbitkan perpu.
“Seperti SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), dalam UU KPK diatur dua tahun tidak selesai kasus langsung SP3,” ujar Direktur LSI Djayadi Hanan, di Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Menurutnya, kasus korupsi seringkali melibatkan faktor politik dan ekonomi yang rumit.
“Karena rumit ada banyak kasus yang tidak bisa diselesaikan dalam dua tahun. Tapi dalam revisi yang baru, lewat dua tahun langsung SP3,” ujarnya.
Pasal itu bisa digunakan tersangka kasus korupsi untuk mengulur-ulur waktu. “Publik mengetahui model pelemahan dalam UU KPK,” kata Djayadi.
Publik, kata Djayadi, menginginkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu untuk membatalkan undang-undang hasil revisi yang dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Dari responden yang sama, LSI juga mendapat data sebanyak 70,9 persen publik percaya Undang-undang KPK hasil revisi merupakan tindakan pelemahan.
Publik yang meyakini undang-undang tersebut merupakan bentuk dari penguatan hanya berjumlah 18 persen saja, sedang 1,1 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
LSI menyebut 60,7 persen responden mendukung demonstrasi mahasiswa menentang UU KPK, sementara, yang menolak hanya 5,9 persen. LSI mendapatkan indeks tersebut dari kegiatan survei telepon nasional yang digelar pada 4-5 Oktober 2019, jumlah responden mencapai 17.425 orang.
Tujuan survei yakni melihat sikap publik terhadap kontoversi UU KPK dan penilaian masyarakat terhadap aksi demonstrasi hang digelar mahasiswa.
Gugat ke MK
Terkait dengan kontroversi UU KPK, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, berencana akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan gugatan yaitu soal kehadiran anggota DPR dalam sidang paripurna pengambilan keputusan pengesahan RUU tentang KPK.
“Sedang disiapkan bahannya. Ini nampaknya memang sepele, tapi sebenarnya sangat mengena sekali,” kata Boyamin di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Sabtu.
Boyamin menilai sidang pengesahan RUU KPK yang digelar di gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/9) lalu, tidak sah.
Alasannya, sidang tersebut hanya dihadiri sekitar 80 anggota DPR meskipun berdasarkan daftar hadir sidang ada 298 anggota membubuhkan tanda tangan.
“Secara fisik yang hadir hanya 80 orang, itu sama saja tidak memenuhi kuorum. Artinya sidang itu ilegal atau tidak sah,” sebut Boyamin.
Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, Pimpinan DPR dalam memimpin rapat paripurna wajib memperhatikan kuorum. Rapat paripurna dinyatakan kuorum apabila dihadiri lebih dari separuh jumlah total anggota DPR yang terdiri dari atas lebih dari separuh unsur fraksi.
“Total anggota DPR itu 560 orang, sehingga 80 anggota dewan yang hadir itu juga tidak sampai setengahnya,” sebutnya.
Boyamin meminta agar MK mengabulkan gugatan mengenai sidang pengambilan keputusan itu harus berdasarkan kehadiran fisik anggota DPR.
Ia mengatakan, jika gugatan itu dikabulkan MK, MAKI pun akan menggugat pansus angket RUU KPK yang selama ini tingkat kehadirannya di bawah 100 orang. “Akan kita gugat semuanya, anggota DPR berikut pansus,” tegasnya.***