KILASBANDUNGNEWS.COM – Bandung, saat mengikuti pendidikan akhir tahun 2024, Forum Wartawan Pendidikan Jabar, dengan tema “Evaluasi Capaian Prestasi di tahun 2024, PR dan Tantangan di Tahun 2025”, Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, H. Yomanius Untung, menyiriti tajam mutu pendidikam tingkat SMA dan SMK di Jabar yang stagnan, akibat minimnya pembiayaan yang mendukung pendidika tersebut.
Menurutnya, dari hasil kajian yang ia lakukan dengan mengacu berbagai variabel, biaya pendidikan yang ideal untuk meningkatkan mutu pendidikan di Jabar bagi jenjang SMA sekitar Rp 4,6 juta persiswa pertahun dan SMK minimal Rp 5,7 juta persiswa pertahun, tergantung jurusannya.
Sedangkan apabila melihat dari sisi anggaran, salama ini pembiayaan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), untuk SMA persiswa pertahun diangka Rp 1,5 juta, SMK sebesar Rp 1,6 juta persiswa pertahun. Ditambah dana bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) dikisaran Rp 98 sampai Rp 125 ribu persiswa perbulan dan SMK dikisaran Rp 170 ribu persiswa perbulan, berbeda-beda setiap sekolah.
Apalagi sudah beberapa tahun, keran bantuan dari orangtua siswa melalui SPP ditutup dan sumbangan orangtua pun tidak berjalan sesuai harapan. Jadi hanya mengandalkan BOS dan BOPD saja, sehingga mutu pendidikan di Jabar masih jauh dari kata layak.
“Dana yang terbatas dibatasi juga oleh aspek psikologis dan politis di masyarakat terkait dengan pembiayaan pendidikan. Di antaranya pendidikan gratis. Ini sangat membebani, sudah berjalan hampir 20 tahun. Sejak diproklamasikannya pendidikan gratis, disanalah mulai terjadi kemunduran tentang mutu pendidikan,” kata Untung.
Pemerintah dan masyarakat penyelenggara pendidikan dipaksa untuk menyelenggarakan pendidikan apa adanya, karena gratis dan yang menjadi korban adalah siswa, baik saat pembelajaran maupun terkait mutu lulusan.
“Saya juga keliling ke berbagai daerah kabupaten/kota untuk melihat fasilitas sekolah, termasuk sekolah favorit di daerahnya, fasilitasnya tidak bagus-bagus amat, seperti dari laboratoriumnya (komputernya keluaran tahun 2015), padahal kita ada di era digital. Ini berangkat dari keterbatasan anggaran,” kata Untung.
Di sisi lain terkait Sumber Daya Manusia (SDM) Guru, dengan kompetensi yang terbatas, hasil UKG nya masih terbatas, apalagi yang diuji hanya aspek kognitif saja, tidak mengacu pada aspek kemampuan mengajar. Itu berdampak pada kemampuan prosedur mutu mengajar.
“Faktanya bagaimana mendapatkan lulusan SMA SMK yang bagus dan bermutu, agar bisa diterima di dunia usaha dunia industri (untuk SMK), dan salah satu faktornya adalah segi pembiayaan. Yang kemudian proses pembelajaran kita, dilakukan apa adanya, karena dikunci oleh regulasi,” tegasnya.
“Sebenarnya boleh komite sekolah bergerak, namun dibayang-bayangi oleh istilah pungli, ada oknum yang mencari-cari masalah. Banyak sekolah yang didatangi oknum APH, wartawan (memeras sekolah terkait peran orangtua siswa)” imbuhnya.
Makanya dia berpendapat harus mengaktifkan kembali SPP, dengan catatan siswa miskin dibebaskan dari SPP. Sehingga sekolah memiliki anggaran yang terukur melalui Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS)
“Hitungan saya satu siswa harus membayar Rp 200 ribu, perbulan. Itu perkiraan. Orangtua siswa sebenarnya mau membayar, namun sudah terbuai oleh kampanye pendidikan gratis. Maka hentikan istilah pendidikan gratis. Sebenarnya tidak ada pendidikan gratis yang ada adalah pendidikan terjangkau,” kata Untung.
Dengan adanya aktivasi SPP, kata Untung akan mendekati pendidikan layak, dengan orientasi pendidikan yang unggul.
Pada kesempatan yang sama Pengurus Pusat Asosiasi Komite Satuan Pendidikan Indonesia (AKSPI), Dra. Rachmi Krisdiani, memaparkan berbagai dinamika komite sekolah.
Rachmi pun memaparkan bahwa sebagai mitra sekolah yang mengacu pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, juga Pergub No 97 tahun 2022, berupaya mendukung seluruh program sekolah berdasarkan RKAS, khususnya melalui sumbangan orangtua siswa. Namun fakta di lapangan sumbangan orangtua siswa untuk menutupi kekurangan anggaran dari BOS dan BOPD tidak berjalan sesuai harapan. Akibat kurangnya anggaran berdampak pada mutu sekolah, dan sulit untuk menjalankan program yang ada.
“Contohnya seperti LKS (Lomba Kompetensi Siswa) tahun ini, ada siswa kami yang juara di tingkat Jabar, tetapi karena anggaran terbatas untuk persiapan ke tingkat nasional jadi tidak optimal. Ini juga dirasakan oleh SMK yang mewakili Jabar di LKS tingkat nasional. Dampaknya tahun ini Jabar sama sekali tidak memperoleh medali emas,” tutur Rachmi.
Makanya Rachmi berharap para stakeholder, bisa saling mendukung agar peran komite sekolah dapat bergerak optimal, peran nyatanya didukung oleh orangtua siswa dalam mewujudkan pendidikan berkualitas.
“Intinya masyarakat harus memiliki kesadaran. Idiom sekolah gratis tapi faktanya belum bisa memenuhi untuk meningkatkan mutu sekolah,” kata Rachmi. Dirinya juga menyoroti, peran komite sekolah yang selalu dianggap melakukan pungli oleh oknum APH, LSM dan wartawan apabila ada sumbangan dari orangtua siswa.
Padahal peran komite sekolah menjadi jembatan sekolah dalam memajukan mutu sekolah dan siswa, sehingga bisa melahirkan generasi unggul dan berakhlak. (Yudi Dirgantara)