Bandung – Pencemaran udara saat ini telah menjadi permasalahan serius di setiap kota dan berdampak buruk pada kesehatan manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), tahun 2012, terdapat 2,6 juta kematian di wilayah Pasifik Barat dan Kawasan Asia Tenggara yang disebabkan pencemaran udara.
Masyarakat yang tinggal di Asia paling berisiko terhadap pencemaran udara karena lebih dari 50% kota-kota besar di dunia berlokasi di Asia dan sebagian besar memiliki permasalahan pertumbuhan populasi yang cepat, urbanisasi, transportasi dan industrialisasi.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah menguasai Teknik Analisis Nuklir (TAN) yang merupakan satu-satunya metode nondestructive yang mampu mendeteksi spesies kimia polutan udara dengan ukuran kurang dari 2,5 mikrometer yang tidak dapat dilakukan oleh metode analisis lainnya.
Peneliti senior BATAN, Muhayatun Santoso mengatakan, selama ini pemantauan terhadap kualitas udara telah dilakukan terhadap CO, SO2, Nox, O3 dan PM10 (partikulat yang berukuran kurang dari 10 mikrometer) sebagai dasar untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Padahal di udara juga terdapat partikulat yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer, dikenal dengan PM-2,5 yang berbahaya karena ukurannya yang kecil sehingga mampu menembus bagian terdalam dari paru-paru.
“Sebagai ilustrasi, ukuran PM-2,5 sebanding dengan sekitar 1/30 dari diameter rambut manusia yang pada umumnya berukuran 50-70 mikrometer. Sedangkan PM-10 sebanding dengan 1/7 dari diameter rambut,” ucap Muhayatun, di Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT), Jln. Tamansari, Kota Bandung, Jumat (08/03).
Menurut Muhayatun, data dan riset PM-2,5 di Indonesia sangat terbatas, untuk itulah perlu dilakukan pemantauan dan studi komprehensif. BATAN bersama Kementerian Lingkungan Hidup melakukan penelitian kualitas udara di 16 kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar.
“Dengan menggunakan TAN, BATAN tidak hanya fokus dalam menentukan konsentrasi massa PM-2,5 dan PM-10, melainkan lebih detail lagi yakni menentukan komposisi kimia yang terkandung pada partikulat udara,” katanya.
Muhayatun menyatakan, TAN merupakan satu-satunya metode karakterisasi partikulat udara yang unik karena memiliki kemampuan mendeteksi secara simultan, cepat, selektif, sensitif, tidak merusak, dan memiliki limit deteksi orde nanogram bahkan pikogram.
“Salah satu parameter penting yang menjadi fokus riset ini adalah pemantauan pencemaran logam berat khususnya Timbal (Pb) pada PM-2,5. Logam Pb yang terdapat di udara jika terhisap dan terakumulasi hingga 10 ug/dL pada seorang anak, dapat mengakibatkan menurunnya tingkat intelegensia, learning disability, mengalami gejala anemia, hambatan dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif buruk, sistem kekebalan tubuh yang lemah dan gejala autis,” tuturnya.***
Rep: Suparno Hadisaputro