Bandung – Penyelesaian masalah banjir tidak bisa dengan cara rutin dan linier saja, karena banjir adalah masalah yang dinamis dengan penyebabnya yang semakin komplek karenanya perlu pemikiran yang sistemik dan bijaksana untuk menyelesaikannya.
Menurut Supardiyono Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), ada 3 opsi penyelesaian banjir yang perlu dipikirkan secara bijak sehingga jangan sampai opsi yang dipilih malah menimbulkan dampak lingkungan yang lebih parah.
Opsi pertama, hilangkan banjir dari penduduk, misalnya dengan menyodet alur-alur sungai dan membangun waduk-waduk di hulu daerah aliran sungai, opsi ini telah banyak dilakukan namun banjir tetap terjadi sementara opsih membangun waduk mungkin baik, tetapi bisa terkendala oleh kesiapan lahan yang mungkin tidak mudah.
Opsi kedua, pindahkan penduduk dari banjir, namun temyata konsep memindahkan relokasi penduduk ini tidak mudah karena penduduk masih tetap ingin tinggal di wilayah rawan banjir.
Opsi ketiga, hidup bersama secara harmonis antara penduduk dan banjir dan mungin opsi yang paling baik karena tidak perlu relokasi, tetapi rumah harus direkayasa menjadl rumah jenis panggung, dimana pada musim penghujan kolong panggung dipakai untuk parkir air dan musim kemarau untuk parkir mobil.
Sobirin mengatakan, ada tiga teknologi untuk penyelesaian banjir di Cekungan Bandung, yaitu kultural, non struktural, dan struktural, namun saat ini kita terburu-buru melakukan konsep struktural untuk diterapkan, yaitu dengan menyodet-nyodet sungai dan membuat terowongan pengendali banjir, dengan alasan bahwa kultural dan non struktural tidak berialan.
“Kita hargai semua upaya tersebut, namun saya berharap upaya penyodetan maupun pembuatan. terowongan sifatnya sementara, jadi kembalikan lagi sungai seperti semula,” katanya.***
Rep: Suparno Hadisaputro