Bandung – Sebanyak 5.000 buruh se-Jawa Barat yang tergabung dalam KSPSI Provinsi Jawa Barat (FSP TSK SPSI, FSP LEM SPSI, FSP KEP SPSI, FSP RTMM SPSI, FSP KAHUT SPSI) memperingati “MayDay”.
Dalam peringatan “MayDay” tersebut para buruh yang datang dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat melakukan aksi damai yang berlangsung di Monumen Perjuangan Jawa Barat dan di Depan Gedung Sate.
Dalam orasinya para buruh meminta pemerintah memperhatikan mereka, salah satunya meminta gubernur segera tuntaskan Upah Minimum Sektoral Kabupaten-Kota (UMSK) 2019 yang belum selesai dan membuat Peraturan Daerah (Perda) proses penetapan UMSK.
Menurut Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat Muhamad Sidarta, Perda ini penting karena sebagai acuan proses penetapan upah layak bagi buruh di Jawa Barat kedepan, karena selama ini penetapan upah tersebut cenderung tidak berpihak pada buruh, karena diatur oleh Permenaker No. 7 tahun 2013 yang kemudian diganti dengan Permenaker No. 15 tahun 2018.
“Peraturan Menteri ini mengatur proses penetapan UMSK harus berdasarkan kajian dewan pengupahan dan harus dirundingkan antara asosiasi pengusaha sektor yang bersangkutan dengan serikat pekerja. Sementara itu sampai sekarang di Jabar belum ada asosiasi pengusaha sektor dimaksud,” ucapnya.
Sidarta mengatakan, asosiasi pengusaha sektor yang belum ada atau terbentuk inilah yang menjadi polemik dan masalah berkepanjangan sampai sekarang, kalau asosiasi pengusaha sektornya saja tidak ada, kemudian serikat pekerja diminta berunding dengan siapa.
“Inilah yang tidak dipahami atau disengaja oleh Pemerintah Pusat yang membuat peraturan menteri tersebut dan Pemda Jabar yang membuat Pergub No 54 tahun 2018, tentang tata cara penetapan dan pelaksanaan upah minimum di Provinsi Jabar,” kata Sidarta, dalam peringatan “MayDay”, di Gedung Sate, Rabu (1/5/2019).
Menurut Sidarta, Pergub No 54 tahun 2018, hanya mengekor atau copy paste peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat tanpa melihat dan mempertimbangkan fakta dan realita yang ada di Jabar yang belum ada asosiasi pengusuha sektor yang dimaksud oleh peraturan menteri tersebut.
“Dalam Permen tentang upah minimum tersebut juga bertentangan dengan makna UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, seharusnya penetapan upah minimum yang merupakan jaring pengaman harus menjadi tanggungjawab negara, bukan dirundingkan antara pekerja dan pemberi kerja, tapi harus dilakukan survey pasar oleh dewan pengupahan sesuai kebutuhan hidup layak bagi seorang pekerja lajang dengan masa kerja nol tahun,” jelasnya.
Sidarta berharap, Gubernur dan Kadisnakertrans Jabar segera menutaskan UMSK 2019 kabupaten Karawang dan Bogor yang belum selesai sampai sekarang serta merevisi Pergub 54 tahun 2018 agar proses penetapan UMSK bisa dirundingkan antara serikat pekerja dengan asosiasi pengusaha indonesia sepanjang asosiasi pengusaha sektor belum terbentuk untuk “Jawa Barat Juara” sebagai jalan tengah.***