Bandung – Ribuan warga menyambut antusias Bandung Agri Market (BAM) 2019 di Plaza Balai Kota Bandung, Minggu (15/9/2019). Para pengunjung datang dari berbagai wilayah Kota Bandung mendapatkan produk-produk pertanian yang berkualitas.
Sekitar 2.000 bibit tanaman pangan yang disiapkan oleh Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Bandung pun ludes dibagikan kepada warga.
Animo masyarakat yang tinggi itu menarik perhatian Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana.
Yana, yang hadir untuk membuka acara, menuturkan hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kesadaran warga akan manfaat bercocok tanam.
Warga yang sudah biasa bercocok tanam diharapkan bisa lebih mandiri dalam memperoleh bahan pangan. Pasalnya, 95% kebutuhan pangan Kota Bandung dipasok dari luar kota.
Dengan bercocok tanam sendiri, Yana berharap secara perlahan masyarakat bisa mulai membangun ketahanan pangannya. Sehingga tidak terlalu banyak bergantung pada pasokan dari luar.
“Mudah-mudahan dengan semakin banyaknya warga Kota Bandung menanam pohon, ikan, di lingkungan masing-masing, minimal kebutuhan pangannya terpenuhi dari lingkungannya,” tutur Kang Yana, sapaan karibnya.
Yana juga mendorong agar urban farming di kewilayahan terus berkembang. Apalagi jika metode hidroponik semakin diperkenalkan kepada warga, Yana optimis warga bisa memenuhi kebutuhan sumber pangannya sendiri.
“Minimal kebutuhan pangannya setiap warga terpenuhi dari lingkungannya.. Urban farming pasti kita dorong juga, terus di rumah juga dia menanam juga. Kalau sayuran terpenuhi, cengekna (cabainya, red), ikannya. Mungkin ada beberapa pangan lainnya dipasok, tapi minimal bisa mengurangi,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, mengungkapkan, Gin Gin Ginanjar, di tahun kedua ini, BAM 2019 memang mengedepankan urban farming sebagai kampanye utama.
Dengan tema “Tanam Sendiri, Rasakan Hasilnya, Keluarga Bahagia”, Pemerintah Kota Bandung ingin meningkatkan minat masyarakat untuk bercocok tanam di rumah meskipun memiliki lahan yang sempit. Metode penanaman dengan hidroponik menjadi solusi.
“Sayuran hidroponik, karena produksinya cepat, pemeliharaannya mudah, nilai ekonomisnya cukup tinggi,” ujar Gin Gin.
Tak hanya memenuhi kebutuhan keluarga dan lingkungan sekitar, Gin Gin mengungkapkan, mulai banyak pedagang yang ingin menjual hasil pertanian dari urban farming. Namun karena belum mampu memenuhi pasokan, tawaran itu belum bisa terpenuhi.
“Produk yang dibuat di urban farming itu selain bersih juga sehat, karena kita tidak menggunakan pupuk kimia. Itu jadi salah satu daya tariknya,” katanya.
Potensi ekonomi tersebut membuat peminat urban farming di kewilayahan tumbuh dengan pesat. Saat ini, terdapat lebih dari 150 kelompok urban farming yang berada di bawah binaan kewilayahan.
“Urban farming itu banyak dijalankan oleh kelompok masyarakat. Jumlahnya meningkat, dari 29 kelompok menjadi 150 kelompok. Itu baru yang formal, yang dibina oleh kewilayahan. Kelompok masyarakat lain, termasuk individu dan instansi pemerintah itu juga banyak yang banyak mengkonfirmasi ke kita untuk minta pendampingan pelatihan,” bebernya.
Pihaknya juga akan mengkaji meningkatnya urban farming ini bisa menjadi daya dongkrak untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar. Jika demikian, potensi ini akan terus dioptimalkan.
“Tapi secara umum itu sudah terlihat dari beberapa kelompok masayrakat yang sudah bisa memenuhi kebutuhan sayurannya untuk kebutuhan sehari-hari,” imbuh Gin Gin.***