KILASBANDUNGNEWS.COM – Sekitar 30 orang penyandang disabilitas terlantar di Jalan Pajajaran, Kota Bandung, depan kompleks bangunan Panti Wyata Guna setelah perubahan status panti menjadi balai.
Ketua Forum Akademisi Luar Biasa, Rianto mengatakan, ia bersama rekannya sengaja tinggal di tenda karena merasa telah diusir oleh pihak Wyata Guna.
Pengusiran dilakukan sejak pekan kemarin atau Kamis (9/1/2020).
“Kamar kami dibongkar, barang dikeluarkan. Kamar juga ada yang disegel,” ujar Rianto, saat ditemui di Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Rabu (15/1/2020).
Menurut Rianto, mereka merasa terusir karena adanya penghentian layanan yang dilakukan Wyata Guna, dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 tahun 2012 tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Namun, dia menilai aturan itu tak menggambarkan kepastian bagi mereka sebagai alumni dari Wyata Guna.
“Nggak ada kejelasan dari pemerintah atau dari Wyata Guna kami harus bagaimana atau apa yang bisa kami lakukan nantinya,” katanya.
Ditemui di tempat yang sama, Humas Forum Akademisi Luar Biasa, Elda Fahmi mengatakan para penyandang disabilitasnya itu telah menginap di trotoar depan Wyata Guna sejak Selasa (14/1) malam. Hal tersebut, kata dia, merupakan dampak perubahan status yang berlanjut kepada pemberhentian pemberian layanan sosial.
“Kata (pengelola Balai Wyata Guna) kalian nggak punya hak di sini lagi, ini udah balai. Kalian tolong pergi karena kami tidak memberikan pelayanan lagi,” kata Elda di depan Balai Wyata Guna, Rabu.
Di trotoar tersebut para penyandang disabilitas memasang karpet serta memasang terpal plastik sebagai tenda berteduh. Selain itu barang-barang milik para penyandang disabilitas juga tersimpan di tempat pengungsian sementara tersebut.
Menurut Elda, kini para penyandang disabilitas hanya mendapat pelayanan selama enam bulan ketika status panti diubah menjadi balai. Selain itu, perubahan status menjadi balai bakal berdampak pada layanan rehabilitasi yang akan diterima oleh penyandang disabilitas.
“Di sini balai pada dasarnya tidak memberikan pendidikan dasar, hanya pelayanan pelatihan lanjutan yang dimana mereka tidak memberikan layanan pendidikan,” kata Elda.
Sementara itu, Kepala Balai Wyata Guna Sudarsono mengatakan bahwa para penyandang disabilitas yang dikeluarkan itu merupakan para penerima layanan yang telah melalui fase terminasi. Menurut Sudarsono, terminasi yang dimaksud adalah berakhirnya masa layanan rehabilitasi.
“Dari konteks layanan kami sudah sosialisasikan itu, pelayanan selama enam bulan, ini sesuai peraturan, sehingga kami menjalankan itu (terminasi),” kata Sudarsono.
Menurutnya mekanisme tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas.
Dinsos Jabar Siap Tampung
Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Dodo Suhendar mengaku siap menampung para penyandang disabilitas yang bertahan di Balai Wyata Guna, Jalan Padjasjaran, Kota Bandung, Rabu (15/1/2020).
Dodo menjelaskan pihaknya pada Senin (13/1/2020) sudah mengirim tim ke Wyata Guna dan diterima Kepala Balai Wyata Guna.
Keesokan harinya merapatkan masalah tersebut dan hasilnya Dinsos Jabar siap menampung mereka dalam kapasitas untuk 35 orang.
“Dilanjut pertemuan dengan Biro Hukum dan Kepala Dinas Pendidikan Jabar, disampaikan kesiapan Dinsos Jabar untuk menampung mereka,” kata Dodo melalui ponsel, Rabu (15/1).
Konflik yang terjadi, katanya, adalah antara penghuni panti disabilitas netra dengan pihak Kementerian Sosial pengelola balai tersebut. Tetapi Pemprov Jabar melalui Dinsos Jabar siap menampung mereka.
“Saat ini ada empat orang dari Wyata Guna yang ditampung oleh Dinsos sejak Oktober 2019,” katanya.
Permasalahan ini, katanya, merupakan masalah antara penghuni panti yakni disabilitas netra dengan pihak Balai Wyata Guna yang merupakan bagian dari Kemensos RI.
“Masing-masing tetap dengan pendiriannya. Pihak penghuni tetap ingin bertahan di asrama dan didukung oleh para alumninya serta komunitas disabilitas netra. Sementara pihak Kemensos bersikeras bahwa sesuai regulasinya yakni pergantian status panti jadi balai,” ujarnya.
Saat masih menjadi panti, katanya, layanan kepada para penyandang tunanetra bisa sampai dua tahun bahkan lebih, sedangkan setelah jadi balai hanya sampai 6 bulan.
Penghuni yang terusir saat ini menurut laporan berjumlah 41 orang, termasuk penghuni yang berasal dari luar Jabar terdiri dari 9 orang siswa SLB SMA dan 32 mahasiswa.
Meski Dinsos Jabar menyatakan siap menampung, puluhan penyandang disabilitas tuna netra nekat bertahan menggunakan tenda darurat di depan Balai Wyata Guna.
Pemerintah Daerah Kurang Peka
Pakar Antropologi yang juga pemerhati masalah sosial dari Universitas Padjadjaran, Dr Budi Rajab MSi menilai, kurangnya perhatian dan kepekaan dari pemerintah, turut menjadi bagian dari permasalahan terusirnya puluhan mahasiswa disabilitas netra dan beberapa siswa SMA Luar Biasa dari gedung Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) atau Wyata Guna Bandung.
Terlebih, konflik yang terjadi antara penghuni panti disabilitas netra Wyata Guna dengan pihak Kemensos terjadi sudah sejak enam bulan lalu.
Namun, segala potensi yang akan terjadi akibat kebijakan Pemerintah Pusat tidak dapat segera diantisipasi oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini penyediaan gedung pengganti, atau tempat bernaung sementara sebelum kebijakan tersebut diterapkan.
“Pemerintah (daerah) selama ini terkesan kurang peduli terhadap kondisi permasalahan di Wyata Guna, padahal masalah ini kalau tidak salah sudah meruncing sejak Agustus 2019 lalu.
Maka, dalam kurun waktu tersebut seharusnya Pemerintah Daerah dapat mendeteksi segala potensi yang akan muncul dari setiap kebijakan Pemerintah Pusat, misalnya menyediakan tempat tinggal sementara sebelum mereka terusir dari ‘rumahnya’ seperti sekarang ini,” ujarnya saat dihubungi Rabu (15/1/2020).
Budi menuturkan, perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 serta Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019, sehingga hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, termasuk pelindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya Penyandang Disabilitas harus diwujudkan oleh pemerintah.
“Maka perlindungan dan perhatian dari terhadap penyandang disabilitas harus dapat dilakukan berlebih oleh pemerintah, bahkan melebihi orang normal pada umumnya,” ucapnya
Menurutnya, selama ini pemerintah kerap melakukan kebijakan yang dianggap tepat, padahal bersebrangan dengan kepentingan dari masyarakat luas. Sehingga hal itu menjadi beban tambahan dan menimbulkan konflik di masyarakat.
“Jangan seenaknya saja pemerintah itu mengeluarkan dan menerapkan kebijakan tanpa memperhatikan kondisi dan perasaan masyarakat apalagi para penyandang disabilitas.
Kalau zaman orde baru mungkin banyak masyarakat takut melawan kebijakan pemerintah, tapi sekarang cobalah masyarakat itu bergerak mencari keadilannya. Jadi kalau sekarang ada aksi demo penolakan, saya rasa itu sesuatu hal yang wajar,” katanya. (Berbagai Sumber)