KILASBANDUNGNEWS.COM – Pengusaha menilai skema gaji per jam dapat memberi banyak dampak positif bagi para buruh. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan buruh yang diupah per jam justru dapat menikmati penghasilan lebih besar daripada bergantung terhadap upah minimum provinsi (UMP) yang selama ini berlaku.
“Justru skema seperti ini menawarkan win-win solution bagi semua pihak, pekerja bisa punya penghasilan lebih gede dari UMP,” ujar Wakil Ketua Apindo Suryadi Sasmita kepada detikcom di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Ia mencontohkan bagaimana penerapan skema gaji per jam ini berlaku di negara maju.
“Saya beberapa kali tinggal di luar negeri, di sana cleaning service-nya digaji mahal sekali, untuk 1 jam saja itu bisa mencapai US$15 atau setara Rp 210.000 (kurs Rp 14.000), bayangkan saja kalau pekerja ini kerja sampai 8 jam per harinya, UMP ya kalah jauh, lebih gede gaji per jam lah,” sambungnya.
Selain itu, pekerja diberi keleluasaan untuk bekerja di lebih banyak perusahaan dengan upah beragam dan waktu yang ditentukan secara mandiri oleh pelakunya.
“Pekerja bisa punya banyak waktu untuk melakukan hal apapun yang mereka mau, misal, malam hari dia merasa ingin menambah pendapatan lebih, dia bisa kerja malam hari di perusahaan lain, atau siangnya ada kegiatan lain, bisa memilih untuk tidak kerja dulu, sebenarnya konsep ini benar-benar menguntungkan bagi para pekerja,” imbuhnya.
Di sisi lain, pekerja jasa profesional seperti praktisi hukum, guru, hingga dokter yang selama ini digaji kecil malah bakal sangat diuntungkan oleh skema tersebut.
“Praktisi hukum yang mampu mencapai keinginan kliennya tentu dibayar berdasarkan keahliannya, begitu juga dokter yang misalnya bekerja hanya di waktu pagi saja atau malam saja, tentu digaji sesuai jam kerjanya dan kompetisinya, itu bisa besar sekali, tidak mungkin disamaratakan dengan yang lain,” tambahnya.
Ia pun yakin sebuah perusahaan akan mengedepankan kesepakatan yang adil terhadap setiap pekerja berdasarkan kompetisi dan kualitasnya.
“UMP selama ini kan, semua profesi digaji sama rata, mau dia lulusan SD, SMP, SMA, D3, bahkan S1, itu sebenarnya tidak adil, kalau dengan gaji per jam, semua digaji berdasarkan kompetisinya, jadi yang ingin kita ciptakan di sini adalah keinginan daya saing yang tinggi di masyarakat itu tumbuh,” tuturnya.
Menurutnya, skema ini justru dapat mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba mengejar pendidikan yang tinggi, sehingga lama kelamaan, kesenjangan sosial di masyarakat terkikis dengan sendirinya, sehingga semakin berkualitasnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia akan memberi pengaruh signifikan terhadap iklim investasi di dalam negeri.
“Jadi semua orang nanti maunya sekolah yang tinggi biar pendapatannya juga naik,” imbuhnya.Dinilai Lebih Fleksibel.
“Yang jadi masalah adalah bagaimana kita bisa mengukur hasil dan pengawasan dari produktivitas dari tenaga kerja tersebut? Upah per jam karena dihitung berdasarkan output. Output pun berbeda per sektoral. Saya rasa lebih baik upah diukur berdasarkan sektoral,” tambahnya.
Sebelumnya, serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengaku keberatan dengan skema yang bakal dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, skema ini melanggar prinsip yang telah ditetapkan oleh Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003 tentang upah minimun sebagai jaringan pengaman agar buruh tidak miskin.
“Kalau diterapkan berarti pemerintah melanggar aturan yang sudah ditetapkan dalam ILO ini,” ujar Said ditemui di Kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta Pusat, Sabtu (28/12/2019).***