KILASBANDUNGNEWS.COM – Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut kebebasan sipil di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang cenderung memburuk. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan memburuknya kebebasan sipil seiring penurunan sejumlah indikator demokrasi.
“Masyarakat merasakan kebebasan sipil yang menjadi pondasi demokrasi belum naik dan bahkan cenderung memburuk,” ujar Djayadi di Hotel Erien, Jakarta, Minggu (3/11).
Djayadi merujuk survei SMRC pada bulan Mei-Juni 2019 menunjukkan adanya kecenderungan memburuknya sejumlah indikator kebebasan sipil. Dalam menyampaikan pendapat misalnya, dia berkata 43 persen responden mengaku takut.
Persentase itu meningkat signifikan jika di bandingkan pada tahun 2014 yang hanya sebesar 24 persen. Selain itu, dia menyampaikan 38 persen responden atau meningkat 14 persen merasa takut dengan penangkapan semena-mena oleh aparat di era Jokowi.
“Sementara itu, responden yang menyatakan bahwa sekarang warga takut berorganisasi juga naik, dari 10 persen pada tahun 2014 menjadi 21 persen,” ujarnya.
Lebih lanjut, Djayadi menyebut hasil survei memperlihatkan ketidakbebasan beragama mengalami peningkatan, yakni 7 persen pada tahun 2014 menjadi 13 persen tahun 2019.
Adapun kebebasan pers, lanjut Djayadi, juga tampak belum menggembirakan. Ia membeberkan 43 responden beranggapan media massa di Indonesia bebas dan tidak disensor pemerintah.
“Namun yang menyatakan tidak bebas dan disensor pemerintah juga besar 38 persen,” ujar Djayadi seperti dilansir laman CNN Indonesia, Senin (4/11/2019).
“Sementara itu, responden yang menyatakan bahwa sekarang warga takut berorganisasi juga naik, dari 10 persen pada tahun 2014 menjadi 21 persen,” tambahnya.
Lebih lanjut, Djayadi menyebut hasil survei memperlihatkan ketidakbebasan beragama mengalami peningkatan, yakni 7 persen pada tahun 2014 menjadi 13 persen tahun 2019.
Adapun kebebasan pers, lanjut Djayadi, juga tampak belum menggembirakan. Ia membeberkan 43 responden beranggapan media massa di Indonesia bebas dan tidak disensor pemerintah.
“Namun yang menyatakan tidak bebas dan disensor pemerintah juga besar 38 persen,” ujar Djayadi.
“Tampak terjadi tren penguatan keyakinan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah landasan berbangsa dan bernegara yang paling baik dari tahun 2016 hingga 2019,” ujarnya.
Lebih dari itu, Djayadi menyebut 66,4 persen responden lebih suka menganggap diri mereka sebagai warga negara Indonesia. Sebanyak 19,1 persen responden mengaku lebih suka menganggap dirinya sebagai umat agama tertentu, dan 11,9 persen lebih suka sebagai warga etnis atau suku tertentu.
“Selama tiga tahun terakir, telah terjadi tren penguatan identitas kebangsaan yang dibarengi dengan pelemahan identitas keagamaan dan kesukuan,” ujar Djayadi.***