KILASBANDUNGNEWS.COM – Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja pertamanya ke Papua pada periode keduanya sebagai presiden. Tapi pengamat LIPI menyebut kunjungan ini akan sia-sia belaka jika tak menyentuh persoalan kekerasan maupun pelanggaran HAM yang terjadi di sana.
Tenaga Ahli Utama dari Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan Papua menjadi pilihan penting Presiden Jokowi dalam kunjungan kerja pertamanya, karena Indonesia kawasan timur adalah prioritasnya.
“Yang paling penting, hari ini (27/10), Presiden Jokowi didampingi Ibu Iriana disambung dengan antusias. Berjumlah dengan ribuan warga di 10 kecamatan,” ujar Ngabalin kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut Jokowi tak sendiri. Dia didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Perhubungan, Menteri Dalam Negeri, dan pejabat lainnya.
Jika merujuk pada agenda kepresidenan, rencananya Jokowi akan mengecek sejumlah proyek infrastruktur seperti akses jalan dari Pegunungan Arfak di Papua Barat menuju Manokwari dan bandara.
“Jadi jalan itu akan memudahkan transportasi orang dan distribusi barang dan hasil pertanian. Tentu juga presiden berharap pembangunan-pembangunan jalan bisa mendongkrak pariwisata di Pegunungan Arfak,” ujar Ngabalin.
Proyek lain yang bakal dikunjungi Jokowi yakni Jembatan Holtekamp di Jayapura. Menurut Ngabalin, jembatan berwarna merah yang menelan anggaran Rp1,3 triliun ini disebut sudah dirancang sejak zaman mantan Presiden Suharto tapi baru dirampungkan di era Jokowi. Karena itulah, penting diresmikan pada Senin (28/10).
“Itu jembatan sudah berpuluh-puluh tahun tak bisa terlaksana, sejak zaman Pak Harto.”
Selanjutnya presiden disebut akan meninjau Wamena, kota yang sempat porak-poranda dilanda kerusuhan beberapan waktu lalu dan menyebabkan setidaknya 31 orang meninggal dan menyebabkan ratusan rumah serta ruko rusak dibakar massa.
Untuk kasus itu, kata Ngabalin, Presiden Jokowi tak mungkin alpa. Sebab jauh-jauh hari telah memerintahkan Polri menangkap pelaku dan mengungkap otak di balik kerusuhan tersebut.
“Tidak mungkin presiden lupa, karena itu menyangkut nyawa,” tukasnya.
Kunjungan berkali-kali tapi tak selesaikan masalah
Tim Peneliti Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, mengatakan kunjungan kerja pertama Presiden Jokowi ke Papua ingin memperlihatkan bahwa Papua tetap menjadi prioritasnya. Cara yang sama dilakukan ketika Jokowi memasukkan dua orang Papua dalam kabinet; Wempi Wetimpo dan Bahlil Lahadalia.
“Kelihatan supaya kita tahu presiden concern-nya memajukan Papua. Kunjungan ke Papua juga terkait proyek pembangunan yang dirintis periode lalu,” ujar Adriana kepada BBC.
Namun demikian, kata Adriana, berkali-kali Presiden Jokowi mengunjungi Papua belum juga menyentuh persoalan utama; kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Sementara, segala persoalan tersebut tidak akan selesai hanya dengan pembangunan infrastruktur yang digencarkan presiden. Sudah semestinya, menurut Adriana, Jokowi mengubah cara pendekatannya dengan mengutamakan pembangunan manusia ketimbang fisik.
“Infrastruktur penting, tapi kan harus ditanya mengurus manusianya bagaimana? Kunjungan berkali-kali pun, tapi tidak menyentuh masalah-masalah ini, terutama pengungsi, trauma, kesehatan anak dan ibu di pengungsian. Jadi terlalu banyak masalah dan tidak disentuh langsung,” paparnya.
Dalam pengamatannya pula, mayoritas infrastruktur yang dibangun Jokowi di Papua kebanyakan dinikmati orang pendatang, bukan orang asli Papua yang banyak tinggal di pegunungan.
“Dengan infrastruktur niatnya mendekatkan akses pendidikan tapi tetap tidak terpenuhi. Jadi orang Papua di pedalaman, tidak mendapatkan akses pelayanan yang sama.”
Jangan sampai kunjungan ini sia-sia
Pada periode pertama memimpin, Presiden Jokowi setidaknya tercatat sembilan kali menginjakkan kaki ke Tanah Papua dengan beragam agenda. Mulai dari penyerahan sertifikat tanah, penyerahan Kartu Indonesia Sehat dan Pintar, mengecek sejumlah proyek infrastruktur seperti jalan trans Papua, hingga mengunjungi pasar tradisional mama Papua.
Tapi bagi Tokoh Papua, Theo Hasegem, berbagai kunjungan Jokowi itu tak menyelesaikan satupun masalah di Papua yang terkait dengan konflik maupun pelanggaran hak asasi manusia. Padahal saat baru dilantik pada periode pertama, ia berjanji menuntaskan kasus penembakan di Paniai.
“Dan sampai sekarang kan masih janji yang disampaikan presiden,” ucap Theo kepada BBC News Indonesia.
Menurut Theo, kedatangan Jokowi untuk meresmikan proyek pembangunan adalah hal yang biasa dan sudah menjadi kewajiban pemerintah. Sehingga, kata dia, orang Papua tak terlalu antusias dengan segala peresmian jalan maupun jembatan itu.
Justru yang menjadi pertanyaan masyarakat Papua, jika konflik terus terjadi dan orang Papua menjadi korban siapa yang akan menikmati proyek infrastruktur pemerintah?
“Kalau banyak pembangunan, orang Papua makin banyak korban, siapa yang mau menikmati?”
Meskipun begitu, ia masih menaruh harapan kepada Presiden Jokowi untuk membuka diri dan menyelesaikan masalah kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Ia mencontohkan kasus tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua yang memicu gelombang protes dan kerusuhan di beberapa wilayah.
“Kalau Presiden ke Wamena, coba dilihat ke peristiwa sebelumnya. Kan pemicunya itu karena mahasiswa dikata-katai rasis.”
“Kami sangat berharap kepada beliau, janji-janji yang disampaikan terpenuhi tahun ini, semisal akses jurnalis asing ke Papua dan mengijinkan pemantau HAM PBB ke Papua. Supaya jangan di negara ini dianggap baik, tapi selalu dapat sorotan internasional,” imbuhnya.
“Jangan sampai kunjungan ini sia-sia.”
Tapi lagi-lagi, Tenaga Ahli Utama dari Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin, berdalih penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan perkara muda. Ia pun menjamin Presiden Jokowi tetap memegang janjinya.
“Jangan dianggap penyelesaian kasus hukum dan HAM di Papua seperti membalikkan telapak tangan. Jadi penyelesaian tidak segampang yang kita bayangkan. Presiden memiliki perhatian dan harapan yang tinggi untuk menyelesaikan itu,” katanya.***