KILASBANDUNGNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempelajari putusan pengadilan dengan terdakwa Markus Nari yang menyeret nama mantan Anggota DPR RI Melchias Markus Mekeng. Dalam vonis Markus, Mekeng disebut menerima USD1 juta terkait proyek e-KTP dari Andi Narogong selaku koordinator fee proyek melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
“Yang kedua terkait dengan fakta-fakta yang muncul di persidangan tentu juga akan menjadi perhatian bagi JPU KPK dan kemudian mengusulkan pada pimpinan,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan di Kantornya, Jakarta, Selasa (12/11).
“Nanti kami pelajari dulu secara keseluruhan fakta-fakta tersebut sembari secara paralel melakukan pikir-pikir pasca-putusan tersebut,” sambungnya.
Sementara itu Mekeng sudah membantah perihal penerimaan uang tersebut. Ia mengaku tidak mengenal Irvanto yang notabene merupakan keponakan dari Setya Novanto.
“Sampai detik ini, tidak pernah bertemu dan mengenal yang namanya Irvanto dalam perkara Markus Nari. Saya tidak pernah dipanggil menjadi saksi di persidangan,” jawab Markus saat dikonfirmasi, Senin (11/11) malam.
“Jadi, tidak ada pemberian uang ke saya oleh siapa pun, saya harap bisa fair dalam melihat masalah ini,” tegasnya.
Dalam perkara proyek e-KTP ini, Markus Nari dijatuhi vonis enam tahun pidana penjara dan denda sebesar Rp300 juta subsiber 3 bulan kurungan. Markus dinilai terbukti menerima suap dan merintangi penyidikan dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Dalami Aliran Uang Kasus PT HTK
Di kasus terpisah, KPK juga telah merampungkan pemeriksaan terhadap Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK), Asty Winasty terkait dugaan suap bidang pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) dengan PT HTK.
Asty Winasty merupakan terpidana dalam kasus ini. Ia dijatuhi vonis 1,5 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp50 juta subsider empat bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
KPK mendalami kronologi pemberian uang kepada mantan Anggota DPR RI Bowo Sidik Pangarso dalam kaitannya dengan proses penyidikan untuk tersangka Direktur PT HTK, Taufik Agustono.
“Penyidik melakukan konfirmasi terhadap saksi terkait kronologi pemberian uang kepada terdakwa Bowo Sidik untuk sprindik tersangka TAG [Taufik Agustono],” ujar Febri.
Taufik ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Kamis (17/10). Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan penanganan perkara yang menjerat Bowo Sidik.
Perkara bermula saat PT HTK memiliki kontrak pengangkutan dengan cucu perusahaan PT Petrokimia Gresik selama tahun 2013-2018. Pada tahun 2015, kontrak tersebut dihentikan lantaran membutuhkan kapal dengan kapasitas yang lebih besar. Sementara PT HTK tidak memiliki kapal dengan spesifikasi itu.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sebelumnya mengatakan ada upaya meloloskan agar kapal-kapal PT HTK dapat digunakan kembali untuk kepentingan distribusi pupuk PT Pupuk Indonesia.
“Untuk merealisasikan hal tersebut, pihak PT HTK meminta bantuan BSP [Bowo Sidik], anggota DPR-RI,” kata Alex pada pertengahan Oktober lalu.
Sebagai tindak lanjut, Bowo menemui Marketing Manager PT HTK, Asty Winasti untuk mengatur agar PT HTK tidak kehilangan pasar penyewaan kapal. Asty kemudian melaporkan hal tersebut kepada Taufik.
Dalam proses tersebut, ujar Alex, Bowo meminta sejumlah fee yang kemudian ditindaklanjuti oleh Taufik dengan membawa pembahasan fee ke internal manajemen.
Pada rentang waktu 1 November 2018-27 Maret 2019, diduga terjadi transaksi pembayaran fee dari PT HTK kepada Bowo dengan rincian: USD59.587 pada 1 November 2018; USD21.327 pada 20 Desember 2018; USD7.819 pada 20 Februari 2019; dan Rp89.449.000 pada 27 Maret 2019.
“Di PT HTK, uang-uang tersebut dikeluarkan berdasarkan memo internal yang seolah membayar transaksi perusahaan, bukan atas nama BSP [Bowo Sidik],” ujar Alex.***