Bandung – Kebakaran adalah salah satu bencana yang kerap terjadi di wilayah perkotaan, termasuk Kota Bandung. Tak heran, Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Diskar PB) Kota Bandung selalu siap siaga.
Namun siapa sangka, dinas yang baru berulang tahun yang ke-100 itu juga punya petugas perempuan yang tangguh bekerja di lapangan. Adalah Bintania Purnomo (34) dan Ratika Yuli Puspita (34), dua dari 35 sosok srikandi Diskar PB yang senantiasa siaga untuk menolong warga yang terkena musibah kebakaran.
Keduanya termasuk yang paling senior di satuannya. Ratika dan Bintan telah menjadi bagian dari Diskar PB sejak 2006. Awalnya, keduanya bekerja sebagai staf administrasi. Seiring meningkatnya kebutuhan keterampilan penanganan bencana, keduanya dilatih untuk bisa menjadi tenaga teknis dan sering terjun ke lapangan.
Ratika termasuk yang paling sering bekerja di lapangan. Tugas utamanya adalah tim logistik dan pelaporan. Namun tak jarang ia juga ikut menjadi tim penyelamatan dan pemadaman.
“Semua staf di sini harus bisa fire rescue (penyelamatan api). Bener-bener belajar dari basic (dasar). Saya juga selain di logistik, bikin laporan, bantu dapur umum, sering juga pegang selang,” tuturnya bercerita.
Sejak menjadi tim penyelamat, ia sering berhadapan dengan berbagai kondisi ekstrem. Kendati nyawa menjadi taruhan, ia mengaku tak pernah merasa ragu melaksanakan tugasnya.
“Karena niat di hatinya buat nolongin orang, jadi nggak ada ketakutan. Yang penting APD (Alat Pelindung Diri) lengkap dan teknik dikuasai. Dengan catatan nggak sembrono, nggak sembarangan. Yang penting safety,” akunya.
“Saya pernah menolong difabel waktu kebakaran di Kosambi. Dia terkunci di rumahnya. Karena mungkin merasa panas, dia sampai buka baju, perempuan. Anaknya tuna grahita. Pas ketemu, saya peluk, lalu teriak ke warga minta sarung, saya selamatkan dulu dia ke musala karena nggak tahu di mana orang tuanya. Saya suruh dia diam di musala. Ternyata, ibunya pemulung yang saat itu sedang bekerja,” kenangnya.
Meskipun bekerja di lingkungan yang keras dan berbahaya, Ratika tak mengeluhkan soal pendapatannya. Ia mengaku baru mendapatkan gaji tetap pada tahun 2017. Sebelumnya, statusnya sebagai honorer.
“Tapi ya gitu, karena kerjanya menolong, orang bilang makasih aja udah bahagia banget,” ucapnya.
Namun ia mengaku sempat mengalami trauma atas kecelakaan yang menimpa dua orang rekannya yang meninggal saat bertugas tahun lalu. Ia menyadari bahwa hal serupa bisa saja terjadi padanya.
“Setelah rekan saya meninggal itu saya sempat ‘down’, tidak berani ke lapangan. Lama banget. Tapi kita kan harus ‘move on’. Saya mencoba melawan trauma saya, sekarang saya sudah bisa ke lapangan lagi,” katanya.
Hal serupa juga dialami Bintan. Perempuan yang sehari-hari bekerja di bagian keuangan itu juga sering terjun ke lapangan sebagai pengemudi mobil pemadam kebaran. Saat ditemui Humas Kota Bandung, ia tak ragu memperlihatkan kebolehannya mengemudi truk pemadam kebakaran yang berukuran besar.
“Di lapangan saya bantu untuk bolak-balik ngangkut air dari (hydrant) Jalan Supratman ke lokasi,” katanya.
Bintan sudah terbiasa mengemudikan truk berkapasitas 5000 liter air dan berhadapan dengan lalu lintas Kota Bandung yang padat. Bahkan ia pernah melakukan kontra flow karena keadaan sangat darurat.
“Kadang di jalan orang masih belum sadar untuk memberi jalan pada mobil pemadam kebakaran. Itu yang agak sulit,” terangnya.
Ia pun mengimbau pengguna jalan untuk mendahulukan mobil pemadam kebakaran jika melintas. Hal itu sudah tercantum dalam regulasi yang kuat.
“Kalau misal ada mobil pemadam tolong kasih jalan. Memang resiko pemadam itu bukan hanya di lokasi, tapi juga di perjalanan,” ucapnya.***