KILASBANDUNGNEWS.COM – Luas kawasan kumuh di Kota Cimahi masih berada di angka 75,80 hektare. Pemahaman masyarakat menjadi tantangan untuk mengurangi luasan kawasan kumuh meski berbagai program terus digalakkan.
“Hingga kini masih ada wilayah kumuh meski setiap tahun sudah dilakukan upaya pengentasan. Masih tersisa 75,80 hektare lagi, ada pengurangan setiap tahun meski tidak terlalu signifikan,” ujar Kepala Seksi Penataan Pengendalian Perumahan dan Pemukiman pada Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPKP) Kota Cimahi, Beny Gunadi seperti dilansir Pikiran Rakyat, Rabu (27/11/2019).
Penetapan lokasi lawasan kumuh Kota Cimahi tercantum dalam SK Walikota Cimahi No 653/Kep.68.PU/2015. Kawasan kumuh tersebar di 10 kelurahan antara lain Kelurahan Melong (1,66 hektare), Cibeureum (15,17 hektare), Utama (7,23 hektare), Leuwigajah (4,02 hektare), Cigugur Tengah (15,36 hektare), Karangmekar (0,99 hektare), Setiamanah (16,17 hektare), dan Padasuka (13,40 hektare).
Beny menjelaskan, ada sejumlah indikator permukiman termasuk kawasan kumuh. Mulai dari bangunan tidak teratur, pengelolaan sampah buruk, tidak ada pengelolaan air bersih dan air limbah, jalan lingkungan/setapak buruk, penanganan kebakaran minim hingga tidak tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Kita bisa merasakan, kalau masuk ke satu wilayah pemukiman bangunannya banyak yang melanggar, sampah berserakan dimana-mana, jalan lingkungan jelek, enggak ada septic tank, air bersih susah, itu pasti kumuh,” jelas Beny.
Setiap tahun Pemkot Cimahi melalui berbagai kegiatan di beberapa Perangkat Daerah (PD) terkait, hingga bantuan dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, selalu berupaya mengentaskan kawasan kumuh di Kota Cimahi. Di antaranya melalui program Kotaku Tanpa Kumuh (Kotaku). Pada tahun lalu Kota Cimahi mendapat bantuan hingga Rp5,1 miliar, tahun depan anggarannya mencapai Rp 3,5 miliar.
Ada juga program rumah tidak layak huni (Rutilahu) menjadi upaya lain pengurangan kawasan kumuh.
Untuk penataan kawasan kumuh di Kota Cimahi terbentur ketersediaan ruang untuk relokasi. Belum lagi, masyarakat menilai memiliki rumah di lahan atau tanah milik sendiri lebih berharga ketimbang memiliki rumah di rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) atau rumah susun sederhana milik (rusunami).
“Lahan terbatas. Kalaupun perlu pembebasan, masyarakat justru minta harga terlalu tinggi,” bebernya.***