KILASBANDUNGNEWS.COM – Agar sekolah lebih menyenangkan sehingga potensi atau bakat anak didik berkembang, anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan bahwa guru-guru harus mempunyai trik-trik jeda pelajaran yang menarik sehingga si anak bisa kembali konsentrasi, bergairah dan senang belajar kembali.
Pasalnya belajar jaman dulu penuh tekanan, hukuman, dan intrusksi, akibatnya anak tidak senang sekolah bahkan memilih keluar sekolah atau drop out. Selain itu bakat anak pun jadi tak tersalurkan.
Alasan itu, politisi wanita dari fraksi PKS ini berkerjasama dengan Kementerian kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) menggelar workshop pendidikan bertema “Mengembangkan Kemampuan Pendidikan dalam Mengefektifkan Suasana Pembelajaran Melalui Ice Breaking Kelas”.
Menurut Ledia, tugas pendidik sekarang adalah bagaimana caranya agar anak didik gembira belajar dan belajar dengan gembira, karena kalau anak didik tidak nyaman maka sekolah pun tidak menyenangkan. Jika menyenangkan maka interaksi satu sama lain akan bagus sehingga tidak ada lagi kasus perundungan atau bullying.
“Kegiatan ice breaking atau belajar dengan gembira itu nantinya bisa meminimalisir kegiatan tidak kita inginkan,” ujar Ledia, Sabtu (15/6/2024).
Ledia pun tak menampik bahwa di kelas itu ada masa-masa anak-anak bosen dan itu berarti harus ada atensi.
“Menarik atensi itu dengan ice breaking, sehingga guru harus punya keterampilan ice breaking dan harus berkembang jangan hanya itu-itu saja. Juga hari ada manfaat untuk pendidikan,” ucap Ledia.
Masih kata Ledia, ada beberapa hal suasana monoton alias tidak dinamis dan memang membuat anak-anak turun minat belajarnya terlebih terpapar gedget.
“Gedget itu cepat perubahannya, konsentrasi juga kan terbatas karena itu perlu ada jeda-jeda istilah ice breaking. Agar kembalikan gairah belajar, kembalikan potensi, sehingga anak didik merasa terarah dan dikembangkan. Buat mereka nyaman agar belajar optimal kedepan dan tidak menimbulkan potensi bullying,” tegasnya.
Disinggung soal bullying menurut Ledia, bisa jadi secara umum anak-anak pelaku bullying itu karena tidak nyaman atau mengalami perundungan dirumah atau banyak dimarahi, sehingga melampiaskan ke temen yang dianggap lebih rentan.
Karenanya guru harus menelusuri mencari tahu penyebabnya apa hingga akhirnya si anak memilih kekerasan atau perundungan.
Ledia pun menghimbau agar komunikasi terbuka setidaknya dengan wali kelas.
“Dalam membaca potensi, guru punya pengalaman dan harus diasah terus, mata batinnya diasah terus. Insyaallah mempermudah mengenali anak walau tidak 100 persen. Tidak hanya wali kelas yang bertanggung jawab, guru-guru mata pelajaran pun bertanggungjawab karena potensi bisa saja dikembangkan oleh guru pelajaran,” tutupnya seraya mengatakan sebelumnya kerjasama dalam kegiatan merdeka belajar dan rapot pendidikan.
Sekertaris Dinas Pendidikan Tantan Surya Santana menambahkan bahwa kerjasama DPR RI dan Kemdikbudristek dalam workshop itu diikuti sekitar 100 guru di Kota Bandung.
Kata Tantan, yang mereka(guru-guru) itu ambil dari workshop adalah proses pembelajaran lebih menyenangkan guna wujudkan generasi emas, unggul, cerdas.
“Yang menentukan proses di sekolah adalah peran guru didalamnya. Kita juga dulu malas sekolah karena suasana stres, tegang. Nah sekarang dirubah proses pembelajaran harus membuat suasana menyenangkan, semangat, belajar jadi motivasi,” ucapnya.
Belajar sekolah bukan lagi intruksi, namun coaching and matering, dulu teori sekarang implementasi.
“Guru sekarang istilahnya mengajar dengan hati ikhlas tidak lagi ada tekanan, ancaman, hukuman apalagi berbentuk fisik. Itu pengaruh kolonialisme. Harus membuat semangat karena senang belajar, mudah dan disini peran guru melakukan berbagai strategi sehingga harus fahami pola ice breaking,” tuturnya.
Dalam Undang-undang guru No. 14 tahun 2005, bahwa guru itu harus punya empat kompetensi, kompetensi pedagogik dimana faham masing-masing siswanya.
“Sekolah itu kaya kebun binatang, jadi dikembangkan sesuai potensinya. Misal ikan bisa renang jangan dipaksa kaya burung harus bisa terbang,” ucapnya.
Lalu kompetensi kepribadian dimana guru itu tidak lagi instruksi tapi tauladan, kata Tantan, semisal siswa unggul karena guru unggul, siswa baik karena guru baik.
Ada juga kompetensi keprofesionalan yang jelas tertata dalam undang-undang. Terakhir kompetensi sosial.
Kata Tantan ini sering dilupakan seharusnya dalam hal ini guru dan anak didik jalin komunikasi dengan ekosistem komite, tokoh masyarakat, antar siswa, dan orang tua siswa.
“Kalau ada anak kurang minat belajar itu bisa saja pengaruh dari rumah. Sekarang itu guru dan siswa bagaikan teman curhat. Ini sudah episode 26 kurikulum merdeka dimana sekolah di Paud dan TK itu tujuannya main, interaksi, di SD baru siapkan mental bersosial,” tutupnya. (EVY)