KILASBANDUNGNEWS.COM – Suhendar (25) memarkir truk kontainernya beberapa ratus meter dari pintu pemeriksaan terminal peti kemas PT Jakarta International Container Terminal (JICT), Jakart Utara, Senin (14/6) siang.
Turun dari kemudinya yang tinggi, ia berpindah ke kontainer rekannya Fikri (24) yang sudah terparkir lebih dahulu.
Suhendar biasa membawa barang-barang ekspor. Saban hari ia keluar masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Suhendar satu dari sekian banyak sopir yang menjadi korban pungutan liar (pungli).
Menurutnya, pungli sudah jadi rahasia umum di pelabuhan. Bahkan, kata Suhendar, sopir yang tak mau memberikan sejumlah uang akan dikerjai oleh petugas pelabuhan.
Saat melewati pintu pemeriksaan misalnya, sopir yang tidak membayar akan diminta putar balik oleh petugas.
“Misalkan di luar nih, ngecek ekspor, nomor segel, kita enggak ngasih (uang) dikerjain suruh muter lagi,” kata Suhendar saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Suhendar mesti membayar Rp2.000 ketika melewati pos pemeriksaan di pintu masuk pelabuhan. Ia juga harus menyerahkan Rp5.000 di tempat bongkar muat peti kemas untuk operator tango. Tak sampai di situ, Suhendar masih harus memberi Rp2.000 saat keluar lokasi.
“Kadang dimintain security,” ujarnya.
Suhendar menyebut para petugas pelabuhan tidak hanya meminta para sopir memutar balik jika tak membayar Rp2.000. Mereka kerap menjahili para sopir. Peti kemas akan diangkat dan dijatuhkan ke ekor truk.
“Kadang kan dijailin, kontainer diangkat, kontainer diabrugin lagi ke buntut, kontainer diangkat, diturunin lagi kalo enggak ngasih,” katanya.
Tak sampai di situ, Suhendar menyebut petugas pelabuhan lainnya juga akan memperlambat layanan bongkar muat apabila para sopir tidak membayar pungli.
Menurut Suhendar, operator tango tak langsung melayani truk kontainer yang datang. Mereka menunggu truk-truk menumpuk. Akibatnya terjadi antrean panjang hingga ke jalanan dan membuat jalan raya macet.
“Kalau enggak bayar ada risiko itu lelet. Lelet dari operasionalnya. Misal bongkar tadinya cepet kan, jadi lelet,” ujarnya.
Kegiatan pungli di pelabuhan ini membuat sopir semacam Suhendar menjadi tekor. Upah yang tak seberapa, tetapi harus mengeluarkan uang tambahan agar barang-barang yang ia bawa cepat dibongkar.
Biasanya, bos Suhendar memberikan uang beberapa ratus ribu untuk biaya solar, Tol, makan, dan lainnya. Sisa uang tersebut baru menjadi haknya.
Saat melakukan pengiriman jarak jauh, ia bisa mengantongi Rp200 ribu. Sementara dalam pengiriman jarak dekat ia hanya menerima Rp60 ribu. Kadang ia juga tidak menerima sepeserpun.
Suhendar pun memberanikan diri menolak memberi pungli. Ia menawar dan beralasan mesti menginap di pabrik selama tiga hari. Namun, para petugas pelabuhan tetap saja tak terima.
“Tetep aja dia kalau enggak dikasih dikerjain kita, disuruh muter lagi,” kata Suhendar.
Tarif pungli yang lebih besar mesti Suhendar bayarkan saat ia mengambil barang-barang impor. Petugas pelabuhan, kata Suhendar, mematok harga Rp20-30 ribu. Terlebih jika peti diturunkan dari kapal.
Menurut Suhendar bosnya mengetahui jika ia kerap dipalak di pelabuhan maupun di jalanan. Beberapa kali ia mengadu jika mesti membayar operator tango Rp30 ribu. Namun, bosnya tidak mau mengganti uang tersebut.
“Enggak ngasih sama sekali, enggak diganti. Kalau bosnya pengertian mah kadang diganti, kebanyakan enggak ngerti semua,” ujarnya. (Sumber: CNNIndonesia.com)