KILASBANDUNGNEWS.COM – Setelah sempat tertunda beberapa waktu, buku yang menceritakan perjalanan Hartono Rekso Dhasono atau yang dikenal dengan HR Dharsono, akhirnya diluncurkan, Sabtu (18/2/2023) di Jakarta.
Dalam buku setebal 420 halaman dengan 120 ribu kata ini, Rum Aly sebagai penulis mencoba menarasikan beberapa penggalan penting sejarah politik dan kekuasaan Indonesia kontemporer yang menempatkan Jenderal HR Dharsono sebagai fokus karena perannya pada masa-masa tersebut.
“H.R. Dharsono adalah seorang pejuang dalam perang kemerdekaan, dan menjadi Panglima divisi Siliwangi 1966-1969. HR Dharsono memiliki gagasan-gagasan tentang masa depan kehidupan politik nasional yang merupakan salah satu pondasi kehidupan bernegara,” ucap Rum.
Bersamaan dengan peluncuran buka tersebut, dilangsungkan sebuah diskusi yang berkaitan dengan sejumlah peristiwa politik penting yang pernah terjadi di Indonesia. Buku ini sendiri menarasikan beberapa penggalan penting sejarah politik dan kekuasaan Indonesia kontemporer yang menempatkan Jenderal Hartono Rekso Dharsono sebagai fokus karena perannya pada masa-masa tersebut.
Para pembicara dalam diskusi adalah Dr Marzuki Darusman SH pegiat HAM internasional yang pernah menjadi Jaksa Agung RI; Sejarawan Dr Anhar Gonggong; Ir Sarwono Kusumaatmadja yang pernah menduduki pos kabinet di era dua presiden; Akademisi Dr Hikmahanto Juwana; serta pengacara terkemuka Dr Luhut Pangaribuan. Keynote speaker Mohamad S. Hidayat, Menteri Perindustrian RI (2009-2014) dan mantan Ketua Umum KADIN yang juga adalah aktivis mahasiswa 1966. Moderator diskusi M. Ridlo Eisy jurnalis senior dari Bandung.
Letnan Jenderal H.R. Dharsono yang adalah seorang pejuang dalam perang kemerdekaan, dan menjadi Panglima divisi fenomenal Siliwangi 1966-1969 adalah seorang idealis yang kaya gagasan. Termasuk dan terutama gagasan tentang masa depan kehidupan politik nasional yang merupakan salah satu pondasi kehidupan bernegara. Sayang bahwa gagasan-gagasannya tentang pembaruan politik Indonesia justru kandas di kaki sebagian rekan-rekan militernya yang telah menjelma sebagai penguasa pragmatis, bersama kalangan penguasa politik kepartaian. Tak lain karena mereka semua sama-sama ingin mempertahankan status quo demi kepentingan kekuasaan mereka masing-masing pasca tumbangnya Soekarno. Menghasilkan situasi tragis, betapa pembaruan politik yang sesungguhnya diperlukan bangsa ini, yang belum kunjung terwujud. Pembaruan kehidupan politik Indonesia, tetap merupakan kebutuhan relevan untuk Indonesia hingga kini.
Menurut Rum, selain menuturkan sejumlah titik krusial dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950, buku ini juga memaparkan episode penting dalam sejarah kekuasaan di masa Indonesia merdeka.
“Salah satunya adalah proses pengakhiran kekuasaan Soekarno setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI. Separuh lebih dari topangan kekuatan Jenderal Soeharto dalam menghadapi Soekarno ada pada Jenderal H.R. Dharsono yang kala itu menjadi Panglima Siliwangi,” tuturnya.
Posisi Divisi Siliwangi waktu itu amat strategis dan menentukan, karena ibukota Jakarta praktis dikelilingi busur wilayah divisi tersebut. Proses perubahan kekuasaan kala itu itu tergambarkan berisi lakon politik yang di sana-sini beraroma pewayangan. Namun berbeda dengan Soeharto yang sangat khas Jawa, Jenderal H.R. Dharsono bersikap lebih tegas di garis depan proses menurunkan Soekarno.
“Paling menarik perhatian dan menjadi catatan penting dalam sejarah politik Indonesia adalah dilontarkannya gagasan pembaruan politik Indonesia oleh Jenderal H.R. Dharsono di tahun 1968-1969 bersama kelompok aktivis pergerakan 1966 dari Bandung,” kata Rum.
Rum memaparkan bahwa, dalam konteks pembaruan politik pasca era Nasakom, Jenderal H.R. Dharsono dan teman-teman mudanya mengagas perombakan struktur politik dan kepartaian melalui konsep dwi grup yang mengerucut sebagai dwi partai. Memiliki kepentingan yang berbeda demi kekuasaannya sendiri, Soeharto dan sejumlah jenderal di lingkarannya menolak dan bergerak mengandaskan gerakan pembaruan itu.
“Dimulai dengan semacam exile bagi Jenderal H.R. Dharsono dengan penugasan baru jauh dari tanah air, menjadi dutabesar di Thailand, Kamboja serta tugas perdamaian di Vietnam,” kata Rum.
“Senasib dengan H.R. Dharsono, dua jenderal idealis lainnya, Sarwo Edhie Wibowo dan Kemal Idris, pada sekitar waktu yang sama juga ditugaskan jauh dari Jakarta untuk beberapa tahun lamanya. Dan semua ini ada tali temalinya dengan rivalitas yang subjektif di tubuh kekuasaan, antara lain karena kekuatiran akan kemungkinan munculnya matahari baru dalam kekuasaan,” imbuhnya.
Merupakan suatu ironi, untuk tidak menyebutnya tragedi, bahwa orang-orang yang punya integritas seperti Jenderal H.R. Dharsono yang adalah pembawa gagasan yang sekaligus bersikap krisis terhadap ketidakbenaran dalam praktek kekuasaan, justru diberi akhir tragis. Dipenjarakan melalui skenario fitnah dan konspirasi oleh sejumlah orang di lingkaran kekuasaan Soeharto. Sudah pasti dengan sepengetahuan Soeharto sendiri.
Memang setelah lepas dari tugas-tugas dalam pemerintahan, H.R. Dharsono yang dari awal sejak masih dalam kekuasaan bersikap kritis, ternyata tetap kritis saat berada di luar kekuasaan. Ia antara lain mengkritisi penyimpangan rekan-rekan militernya terhadap Dwi Fungsi ABRI yang sebenarnya adalah sebuah konsep ideal untuk membantu tegaknya pemerintahan sipil yang kuat.
H.R. Dharsono juga mengkritisi disimpangkannya konsep Orde Baru dari sebuah sistem yang ideal menjadi praktek kekuasaan yang dijalankan secara buruk. Ia juga mengkritik berbagai praktek korupsi dan kolusi dalam tubuh kekuasaan serta meningkatnya sikap represif penguasa militer, antara lain dalam Peristiwa Tanjungpriok September 1984. Karena kritik dan tuntutannya agar peristiwa berdarah ini diperjelas, ia kemudian digiring ke dalam sebuah jebakan konspiratif dan berakhir dengan tuduhan subversi yang berujung pada pemenjaraan.
Dalam buku ini juga akan ditemukan sejumlah nama penting yang pernah berada dalam kekuasaan seperti Jenderal M. Jusuf, Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Sutopo Juwono, Jenderal Soemitro, Laksamana Soedomo, Jenderal Yoga Sugama, Jenderal Maraden Panggabean, Jenderal LB Moerdani dan sejumlah tokoh Petisi 50. Tak terkecuali tokoh-tokoh aktivis dari kalangan sipil seperti Rahman Tolleng, Midian Sirait, Adnan Buyung Nasution, serta tokoh-tokoh gerakan mahasiswa dari masa ke masa. Seluruhnya ada lebih dari 500 nama.
Apa yang menghubungkan narasi dalam buku ini dengan situasi kehidupan bernegara saat ini? Salah satunya, adalah bahwa proses berbangsa dan bernegara masa kini, bagaimanapun adalah bagian tak terpisahkan dengan proses berbangsa-bernegara dari masa lampau sebagai suatu proses estafet. Lebih dari itu, kasat mata terlihat bahwa sejumlah pola perilaku politik dan kekuasaan yang buruk di masa lampau seperti dinarasikan buku ini, dari waktu ke waktu hingga kini, pada hakekatnya ternyata tak banyak berubah untuk tidak menyebutnya di sana-sini malah “berkembang” (Parno)