KILASBANDUNGNEWS.COM – Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Bahasa juga menunjukan kebudayaan.
Terutama bahasa daerah, namun karena minder menggunakan dan dianggap aneh bahasa daerah kian punah.
Dan sayangnya karena ketidak tahuan berbahasa yang baik dan benar bahasa malah menjadi pemicu kesalah fahaman. Seperti banyak terjadi di sosial media, karena salah faham dalam bahasa netizen dan netizen saling menyerang, hingga terbawa ke dunia nyata pun saling bertikai.
Seperti disampaikan anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah bahwa ketika kita tidak berbahasa yang baik artinya empati dan kemampuan untuk berkomunikasi secara baik jadi hilang.
“Bisa jadi karena keterbatasan kosa kata, keterbatasan olah rasa bahasa menyebabkan kemudian banyak konflik yang mudah terjadi. Orang lebih mudah marah karena kata-kata, caci maki dan kita sendiri sangat sedih karena ternyata di sosmed banyak kata-kata yang konotasinya negatif yang disampaikan, sehingga akhirnya hubungan antar personal jadi tidak baik,” ujar Ledia usai bimtek pusat bahasa kemendikbud tentang pembinaan literasi generasi muda di Bandung, Selasa (5/7/2023).
Ledia ingin bahasa Indonesia itu betul-betul bisa menjadi bahasa pemersatu bangsa.
“Jadi kita bisa memilih kata-kata kemudian kita memberikan mengapresiasi dengan kata-kata yang baik atau memberikan kritik pun dengan kata-kata yang baik bukan tidak boleh mengkritik, tapi kita juga bisa memilih mana agar kritik itu menjadi sesuatu yang memberikan solusi bukan menyebabkan perpecahan,” jelas politis perumpuan dari PKS ini.
Masih kata Ledia, saat ini kecenderungan pemilihan diksi yang menyebabkan terbelahnya masyarakat. Dan untuk menghindarinya sosialisasi seperti ini harus terus dilakukan terutama kepada anak muda. Agar mereka punya kekayaan bahasa yang lebih banyak.
“Selama ini kan serapan-serapan asing dan kemudian cultur asing sebetulnya lebih banyak berinteraksi dengan mereka dari pada cultur indonesianya sendiri. Kita berharap balai bahasa ini bisa memberikan dorongan lebih banyak lebih besar sehingga kita bangga berbahasa indonesia,” harapnya.
Bukan itu saja kata Ledia, pemerintah pun tengah mempersiapkan bahasa Indonesia digunakan di level internasional sehingga tidak memprioritaskan bahasa asing, malah justeru bahasa Indonesia jadi asing.
Ia mencontohkan betapa sulitnya mencari beberapa arsip semisal di Kota Cimahi berbahasa Indonesia, dan ternyata malah berbahasa dan ada di Belanda.
“Kita cari tahu ke australia sama kesana juga rujukannya. Artinya kita tidak mampu mengali lebih dalam,” keluhnya.
Sebenarnya kata Ledia, aturan berbahasa Indonesia itu ada tercantum dalam undang-undang bahasa Indonesia dan bahasa daerah dimana di setiap pertemuan internasional harus menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia dan disediakan penterjemah untuk orang asingnya.
“Setiap kita jadi aktor memang pengantar kita gunakan bahasa Indonesia dulu, bukan berarti kita gak bisa bahasa asing ya, cuma dalam undang undang pengantar harus bahasa Indonesia dulu,” tandasnya.
Sementara Kepala Balai Bahasa Jabar Dr Herawati menyebutkan untuk meningkatkan kembali literasi, pihaknya sudah mendistribusikan 6 juta lebih eksemplar ke berbagai wilayah assement nasional level 1 atau sekitar 7 sampai 8 kota kabupaten darurat literasi.
“Ini kekhawatiran kita, maka itu solusinya dengan program merdeka belajar. Disana ada memantau monitoring dan evaluasi. Ini bisa melalui cerita anak, kita buat versi cetak dan digital, survei 2019 literasi di Jabar masih sangat rendah,” jelasnya.
Untuk gawai sendiri kata Herawati tidak bisa disalahkan karena digitalisasi sebuah keniscayaan. Namun pihaknya sudah menyiapkan bacaan bermutu dalam bentuk buku digital (Budi) yang disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak.
“Ya ini tantangan dan tanggung jawab kita mengubah literasi. Penelitian kemarin kita darurat literasi, makanya semua pemangku kepentingan swasta masyarakat harus aktif bersama-sama, kita sendiri sediakan bahan literasi bermutu sesuai dengan mereka, buku itu hasil inventarisasi dan pendokmentasian serta penterjamah bahasa daerah ke Indonesia,” bebernya.
Ditambahkan Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. Drs. Imam Budi Utomo, dari 718 bahasa daerah tercatat dan terpetakan 11 diantaranya sudah punah.
“Itu berada di wilayah timur Maluku dan Papua, di Papua ada 428 bahasa daerah beberapa sudah punah. Kami tahu itu punah berdasarkan laporan masyarakat,” jelasnya.
Untuk bahada yang masih ada atau yang masih digunakan sendiri kata Imam kini mengalami penurunan.
“Anak muda jarang menggunakannya, mereka minder, malu. Karenanya kita kemudian upayakan si anak memiliki kesenangan dan kemauan berbahasa daerah melalui program merdeka belajar episode 17 tentang revitalisasi bahasa daerah. Kita siapkan materi yang menjadi kesukaan anak-anak, kalau di Sunda ngabodor atau stand up comedy, tembang dan sebagainya. Agar anak-anak ini menyenangi bahasa tadi. Untuk pemetaan bahasa sendiri kita butuh proses panjang,” pungkasnya. (Evy)