KILASBANDUNGNEWS.COM, PURWAKARTA – Sejarah penyebaran agama Islam di Kabupaten Purwakarta cukup unik, pasalnya sasaran penyebaran adalah para badega (pengawal, red) Pajajaran atau Galuh Pakuan yang tengah melakukan perjalanan dari Pajajaran menuju ke Bogor dan ke Sumedang sambil membawa mahkota.

Selama perjalanan melewati Kabupaten Purwakarta rombongan bermalam terlebih dahulu di mesjid yang didirikan oleh Syekh Baing Yusuf bernama asli Raden H Mochammad Joseoef bin Raden Djajanegara yang juga merupakan keturunan ke-24 dari penguasa tanah Sunda, Prabu Siliwangi pada 1826 silam.

Syekh Baing Yusuf sengaja mendirikan Mesjid Agung Baing Yusuf untuk mengajak para badega masuk Islam kemudian melaksanakan ibadah shalat.

“Dulu masjid agung sekaligus Alun-alun Kiansantang ini masih hutan. Pengawal atau badega itu di antaranya ada di daerah Kutawaringin yang sekarang Pasar Rebo dan Sindang Kasih,” ujar pengurus Mesjid Baing Iing Solihin (76).

Nama Baing sendiri kata Iing, adalah pemberian gelar kepada syekh Yusuf dari Raja Turki, Baing atau Bai yang berati bapak. Itu karena syekh Yusuf kelahiran tahun 1709 di Bogor, banyak menimba ilmu agama Islam dan sering berdakwah bahkan di umur 7 tahun sudah hafizh qur’an.

Dulu mesjid Baing Yusuf berbentuk padepokan, mengalami pemugaran hingga menjadi mesjid kekinian. Pada tahun 1957 dibongkar kubahnya karena bocor, lalu tahun 1987 dibongkar atap dan kubahnya untuk dicor oleh ibu Mami Setibi
Darwis, mesjid dibongkar kembali pada tahun 1926 oleh keluarga dan bupati Ibrahim Singadilaga. Kemudian pada tahun 1993 dibongkar total oleh bupati Bunyamin Dudi dan selesai pada tahun 1994.

“Syekh Yusuf meninggal pada tahun 1854 di usia ke 145 tahun, beliau dimakamkan di belakang mesjid ini bersama para pendiri Kabupaten Karawang dan keluarga Gandanegara, Sasatradiningrat yang pada tahun 1818 memimpin pusat pemerintahan di Wanayasa,” ucap Iing seraya mengatakan mesjid Baing memiliki luas kurang lebih 2000 meter.

Sejak syekh Yusuf meninggal banyak peziarah ke makamnya, dari berbagai daerah terutama dari Banten, hal itu karena syekh Yusuf mempunyai murid syekh Nawawi al-Bantani yang menjadi imam besar Masjidilhram kala itu.

Masjid yang terletak di tengah jantung kota Purwakarta atau sekitar area kantor Pemkab Purwakarta di Jalan Ganda Negara itu tidak memungut tarif bagi peziarah namun peziarah dapat memberi seikhlasnya.

“Setiap hari yang ziarah bisa sampai 6 bis atau satu bulan sekitar 2-3 ribu orang. Hasil dari kotak amal untuk kebersihan dan pengurus makam atau juru pelihara sebanyak 7-8 orang,” ujar ayah 7 anak itu yang juga mengaku turun temurun menjaga makam syekh Yusuf.

Selain bangunan masjid, peninggalan Syekh Yusuf lainnya berupa kitab fikih dan tasawuf berbahasa Sunda, bertuliskan huruf Arab dan mushaf dengan tulisan tangan. Serta sebuah pedang panjang yang kala itu digunakan sebagai pegangan saat khotbah Jumat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.