KILASBANDUNGNEWS.COM – Selama masa pandemi covid-19, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung kehilangan pendapatan hingga mencapai Rp6 miliar per bulan. Hal ini lantaran banyak kendala yang dialami dari mulai penagihan, pencatatan hingga pembayaran.
Menurut Direktur utama (Dirut) PDAM Tirtawening Kota Bandung Sonny Salimi, selama masa pandemi pencatatan dilakukan secara manual. Pencatatan secara manual dilakukan sejak April-Juni 2020.
“Karena ada keakutan dari pencatat meter untuk terrjun ke lapangan. Makanya kami melakukan pencatatan berdasarkan besaran rata-rata konsumen menggunakan air dalam satu bulan,” papar Sonny.
Di sisi lain, karena pencatatan hanya mengandalkan perkiraan, kesalahan pencatatan sangat mungkin terjadi. Sehingga pelanggan akan keberatan membayar di bukan berikutnya.
“Sehingga, pada Juli hingga akhir tahun, banyak pelanggan yang mengeluhkan tingginya tagihan,” terangnya.
Tingginya tagihan ini, lanjut Sonny, selain karena pencatatan manual di tiga bulan sebelumnya, juga karena memang penggunaan air selama masa pandemi meningkat.
“Selama pandemi, banyak keluarga melakukan aktifitas dari rumah masing-masing. Sehingga penggunaan air di rumah meningkat. Yang mengakibatkan meteran dan tagihan juga meningkat,” tuturnya.
Di sisi penagihan, kendala ada di warga yang enggan membayar langsung ke loket karena sedang pandemi, tapi mereka juga tidak punya rekening untuk membayar melalui virtual account PDAM.
“Belum lagi petugas kami yang biasanya menagih langsung ke lapangan, sekarang juga dihentikan. Sehingga penagihan yang biasanya bisa mendatangkan uang masuk secara langsung. Sekarang tidak bisa,” bebernya.
Untuk pemasukan Sonny mengatakan, pihaknya tidak bisa memaksa pelanggan membayar tepat waktu. Mengingat kondisi keuangan semua pihak sedang carut marut.
“Makanya kami menerima usulan penangguhan pembayaran hingga 3 bulan. Jika lebih dari 3 bulan, maka instalasi akan diputus,” katanya.
Di sisi lain, pelanggan dari sektor bisnis seperti mall, hotel dan restoran juga mengalami kesulitan. Terlebih ada beberapa pengusaha yang mengalami kebangkrutan. Sehingga membuat mereka memecat atau merumahkan karyawannya.
“Kalau sudah begitu, sebagai karyawan mereka sulit membayar tagihan. Perusahaan juga kesulitan membayar tagihan karena tidak ada operasional,” tuturnya.
Sektor niaga sendiri, lanjut Sonny, menyumbang 20% -30% pemasukan. Dengan tarif air per kubik jauh di atas tarif domestik. Sehingga jika sektor ini mengalami kebangkrutan, maka akan berpengaruh besar kepada pendapat PDAM.
“Kita contohkan, salah satu hotel biasanya membayar tagihan sebesar Rp500 juta, sekarang hanya Rp 5 juta. Karena tutup,” terangnya.
Di sisi lain, pemasukan domestik sangat sedikit. Berdasarkan cacatan Sonny, dari jumlah pelanggan PDAM yang mencapai 177 ribu sambungan. 90 ribu diantaranya, bayar tagihan dibawah Rp50 ribu. 49 ribu pelanggan, membayar tagihan sebesar Rp50-Rp100 ribu.
17 ribu pelanggan membayar tagihan sebesar Rp100 ribu-Rp150 ribu, sisanya di star Rp150 ribu. Untuk itu, Sonny berpesan kepada pelanggan, agar membayar tagihan sesuai waktu.
“Jika membayar tagihan tepat waktu, maka kita akan bisa terus memberikan pelayanan secara maksimal,” tuturnya.
Disinggung mengenai penggunaan air secara keseluruhan, Sonny mengatakan tidak ada perubahan.
Meskipun ada pengurangan penggunaan di sektor bisnis namun ada peningkatan penggunaan air di sektor domestik.
“Jadi penggunaan air tetap 3,1 juta meter kubik -3,3 juta meter kubik sebulan,” tutupnya. (EVY)