KILASBANDUNGNEWS.COM – Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) melakukan aksi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/10/2020). Aksi ini sebagai tindaklanjut unjuk rasa 6 – 8 Oktober 2020, dengan tuntutan “Permintaan Agar Presiden Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Tentang Pembatalan UU Cipta Kerja”.
Ketua Umum FSP LEM SPSI, Arif Minardi menyatakan, penyebab utama para buruh tetap melakukan aksi unjuk-rasa karena kurangnya kepercayaan terhadap lembaga negara, terbukti dari kronologis mulai dari pembuatan draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja sampai dengan disahkannya menjadi UU Cipta Kerja khususnya Klaster Ketenagakerjaan sebagai domain utama kami sebagai pengurus serikat pekerja dan relatif kami menguasai baik substansi maupun proses pembuatan undang-undang.
“Kami menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait UU Cipta Kerja merugikan para buruh,” tegas Arief, melalui rilis yang diterima, Kamis (22/10/2020).
Dalam tuntutannya para buruh menilai bahwa:
- Pembentukan UU Cipta Kerja tidak mencerminkan semangat musyawarah untuk mufakat.
- Prosedur dan proses pengundangan UU Cipta Kerja yang mengabaikan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (19) sebagai ejawantah dari Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi : “Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.” Artinya lembaga ini tidak terlibat atau tidak dilibatkan dalam penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja, padahal disinilah seluruh permasalahan dunia usaha yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dapat dicari win-win solution melalui musyawarah untuk mufakat. LKS Tripartit ini dipimpin langsung oleh Menteri dan anggotanya diangkat melalui Keputusan Presiden. Sehingga apabila pengusaha merasa ada permasalahan pada pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003, dapat dikomunikasikan, dikonsultasikan dan dimusyawarahkan di dalam LKS Triparti ini, dengan di dukung oleh data-data yang otentik.
- Prosedur pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas-asas seperti pada pasal 5 dan pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, padahal prosedur, dalam teori hukum adalah jantungnya hukum.
- UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur tentang tugas dan peran serikat pekerja yang wajib memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Artinya, bahwa SP/SB wajib dilibatkan dalam permasalahan yang menyangkut pekerja/buruh sebagaimana amanah dan perintah UU ini. Hal ini jelas ada korelasinya dengan UU ketenagakerjaan khususnya tentang hubungan industrial melalui LKS Tripartit. Sehingga dalam penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja sejak awal wajib dilibatkan, dan inipun sesuai dengan amanah UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- Tim yang dibentuk atau pertemuan-pertemuan yang membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja, hanyalah sebagai formalitas saja, atau hanya untuk legitimasi, tidak mencerminkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, dan tidak mengikuti amanah atau perintah UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya tim-tim tersebut dibentuk setelah draft/rancangan UU Cipta Kerja resmi diserahkan kepada DPR, padahal undang-undang memerintahkan seharunya SP/SB dilibatkan sejak perencanaan penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja.
- Tidak/belum dapat membahas tentang substansi UU Cipta Kerja, karena hingga saat ini dokumen resminya belum didapatkan. Dan para pejabat/birokrat ketika menjelaskan substansi UU Cipta Kerja seharusnya setelah dokumen resminya ditanda-tangani oleh Presiden Republik Indonesia, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. (Parno)