KILASBANDUNGNEWS.COM – Kondisi air tanah pada sejumlah titik di Kota Bandung berkondisi kritis. Berdasarkan peraturan Gubernur Jawa Barat pada 2006, titik air tanah kritis ditemukan di 12 kecamatan di Kota Bandung.

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Jawa Barat membuat kajian pada 2017, area air tanah kritis di Kota Bandung bertambah luas daripada yang tercantum dalam peraturan gubernur.

Hal itu disampaikan Kepala Seksi Konservasi Air Tanah dan Keanekaragaman Hayati Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung Salman Faruq di Taman Sejarah Balai Kota Bandung, Jalan Aceh, seperti dilansir Pikiran Rakyat (3/12/2019).

Perizinan beserta pengawasan penggunaan air tanah, ucap Salman, merupakan kewenangan Pemprov Jawa Barat.

Hal itu berlandasakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Terlepas dari hal itu, Pemkot Bandung menaruh perhatian konversi air tanah, menjalankan langkah sesuai kewenangan.

“Wali Kota Bandung (Oded M. Danial) telah menerbitkan surat edaran kepada para pelaku usaha, masyarakat, pemangku kepentingan lainnya agar menerapkan water harvesting (memanen air), mengurangi penggunaan air tanah. Surat edaran tersebut terbit pada Agustus 2019,” ucap Salman.

Surat edaran, ucap Salman, baru sebatasĀ  imbauan kepada berbagai kalangan agar tak terlalu mengandalkan air tanah.

DLHK Kota Bandung siap menyusun kajian dalam rangka meningkatkan surat edaran menjadi peraturan wali kota, atau peraturan daerah.

Salman mengatakan, Pemkot Bandung melalui DLHK menjalankan sejumlah langkah lain mengenai konservasi air tanah. Dia melaksanakan sosialisasi ke tiap-tiap kecamatan, memberikan pemahaman kepada masyarakat guna ikut serta menjalankan konservasi air.

DLHK Kota Bandung, ucap Salman, membangun 7-10 sumur resapan dalam per tahun. Lokasi pelaksanaan pembangunan sumur resapan dalam berbeda-beda tiap tahun. Pihaknya tengah mengidentifikasi lokasi pembangunan sumur resapan dalam untukĀ  tahun depan, kemungkinan Kiaracondong.

“Tahun sebelumnya, terlaksana di Andir. Sementara itu, dua tahun sebelumnya, terlaksana di Sukajadi. Anggaran untuk pembangunan sumur resapan dalam sekitar Rp 400 juta tiap-tiap tahun,” tutur Salman.

Langkah pembangunan sumur resapan dalam, ucap Salman, memang belum bisa memulihkan air tanah yang berkondisi kritis. Paling tidak, langkah tersebut dapat mencegah titik air tanah kritis terus meluas.

“Organisasi Perangkat Daerah lain, seperti DPKP3, Pekerjaan Umum juga mengadakan pembangunan yang berfungsi untuk mengurangi penggunaan air tanah,” kata Salman.

Dalam upaya konservasi air, Salman menyebutkan, DLHK terus berkoordinasi dengan instansi terkait, di antaranya Dinas ESDM, Badan Geologi, LIPI.

Pihaknya mengajak kepada masyarakat agar menerapkan water recycling, serta menanam pohon yang dapat menyerap banyak air di rumah masing-masing.

Diberitakan sebelumnya, Peneliti dari Jurusan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Dr Heri Andreas ST MT menyebutkan penggunaan air tanah secara berlebihan termasuk sebagai salah satu penyebab penurunan muka tanah (land subsidence).

Bahkan, tim peneliti geodesi ITB meyakini penggunaan air tanah secara berlebihan merupakan penyebab dominan land subsidence.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.