Bandung – Seniman yang juga Dosen Seni Rupa ITB, Tisna Sanjaya mengaku inspirasi dalam berkarya seni bisa datang dari mana saja, termasuk saat melihat kondisi Sungai Citarum yang kotor dan tercemar. Mulai dari seni sketsa, seni instalasi, seni lukis, performance art dan juga dokumentasi mural yang dikerjakan oleh warga, mahasiswa, dan tentara.
“Saya sudah berada di Citarum selama satu tahun, berkarya dan berproses kreatif dengan melibatkan warga dan aparatus di sana dari mulai kotor sampai bersih,” kata Tisna Sanjaya, seperti dilansir laman PRFM, Kamis (21/2/2019).
Saat pameran Citarum Expo 2019 di Dome Balerame Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung, Selasa (19/2/2019), Tisna Sanjaya hadir dan melukis secara langsung dengan tema tentang Citarum. Aksi tersebut menarik perhatian para hadirin yang sedang datang saat pameran berlangsung.
“Yang saya gambarkan itu, ada ibu di bawah, karena air itu adalah simbol dari ibu sebagai mata air, lalu di atasnya itu digambarkan seperti dengkul, maksudnya berpikir dengan dengkul, karena sekarang itu zaman yang bagus dijelek-jelekin dan yang jelek dibaik-baikan, ada satu masa di kita itu yang seperti itu dan dampaknya kepada lingkungan. Lingkungan jadi buruk, karena energi kebaikan itu dimutilasi,” kata Tisna menjelaskan maksud lukisannya.
Judul lukisan yang ia buat ialah “Thinking with Knee” atau berpikir dengan dengkul. Karya tersebut rencananya akan dilelang. Tisna juga berencana menggelar pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang akan menampilkan semua hasil karyanya mengenai Citarum. Hasil dananya sebagian akan dihibahkan untuk penanganan sungai Citarum.
Bagi Tisna, Citarum telah membawa energi baik dan energi luar biasa pada karya seninya. Saat pembuatan karya, ia juga melibatkan masyarakat sekitar, tentara yang sedang bekerja, mahasiswa dan lainnya. Ia melihat, seni pun ternyata mempunyai daya penggerak terhadap perubahan lingkungan hidup lebih baik. “Tema lukisan tersebut adalah semangat hidup yang saya dapatkan dari proses saya berada di Citarum. Jadi dari mulai air keruh, saya terus berkarya di sana melihat tentara yang bekerja siang malam, itu jadi dorongan untuk berkarya,” tuturnya.
Dampak dari Citarum juga berpengaruh terhadap ITB pada mata kuliah baru seni desain dan lingkungan. Saat mengajar, ia mengajarkan kepada mahasiswa seni ITB bahwa seni jangan hanya ada di menara gading saja. Tapi harus hidup di masyarakat. “Makanya mahasiswa saya juga dibawa ke Sungai Citarum, sudah tahun lalu selama empat bulan melukis 120 meter panjangnya dan tinggi empat meter,” katanya.
Menurut Tisna, pembenahan sungai terpanjang di Jawa Barat ini, harus terkoordinasi dengan baik, tidak bisa bekerja masing-masing. Saat ini, koordinasi tersebut sudah dilakukan dengan membentuk Satgas Citarum Harum, kemudian dikeluarkan pula Keputusan Presiden. Baik dari pemerintah pusat, provinsi, daerah, tentara, komunitas, masyarakat, pegiat lingkungan dan pihak lainnya sudah bekerjasama.
“Kampus-kampus melakukan KKN di sini, pengusaha sadar tidak membuang limbah karena dihukum dengan tegas. Semua pihak harus bekerjasama dalam pembenahan Citarum, karena kalau Citarum bagus efeknya ke kampus kita, ke Bandung, Jawa Barat,” tandasnya.***