KPA: Masalah Sosial Jadi Persoalan Besar HIV/AIDS

Sekretaris KPA Kota Bandung, Dr. Bagus Rahmat Prabowo.

Bandung – Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) tak sekedar persoalan kesehatan. Lebih dari itu, penanganan HIV/AIDS juga menyangkut permasalahan sosial.

“Masalah HIV bukan masalah kesehatan. Masalah kesehatannya itu hanya 10 persen, Sisanya 90 persen itu masalah sosial. Salah satunya masalah stigma. Contohnya banyak yang terkena masalah HIV malah dikeluarkan dari pekerjaan, ada anak sekolah yang dikeluarkan dari sekolah,” ungkap Sekretaris KPA Kota Bandung,  Dr. Bagus Rahmat Prabowo di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (24/6/2019).

Bagus memaparkan, pemerintah pusat sudah mencanangkan target Three Zero pada 2030 nanti. Ketiganya yaitu tidak ada lagi penularan HIV, tidak ada lagi kematian akibat AIDS, serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Menurut Bagus, persoalan stigma ini masih tinggi di Indonesia. Contohnya aktivitas seks bebas dengan menyudutkan Pekerja Seks Komersil (PSK) sebagai subjek. Padahal, dari data yang terhimpun faktor moralitas tak lantas memberikan pengaruh besar.

“Kita bisa lihat secara epidemologis orang terinfeksi HIV dari pekerja seks itu sangat kecil. Padahal mereka sering sekali beraktivitas seks dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang hanya berdiam diri di rumah. Tapi ternyata kasus pada ibu rumah tangga jauh lebih banyak dari pada pekerja seks,” terangnya.

Bagus menambahkan, saat ini heteroseksual menjadi penyebab paling besar penularan HIV/AIDS, baik itu dari laki-laki ke perempuan ataupun sebaliknya.

“Heteroseksual kita bagi dua antara pekerja seks dan non pekerja seks dan ternyata kira-kira hanya seperempatnya dari pekerja seks dan 75 persen dari heteroseksual dari non pekerja seks,” imbuhnya.

Sedangkan penyebab dari penggunaan jarum suntik saat menggunakan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza), Bagus menyebut semakin menurun. Bahkan, sekalipun terjadi bisa secepatnya ditanggulangi.

“Kalau dari Napza suntik yang terinfeksi itu trennya sekarang menurun drastis. Selain karena barangnya susah didapat dan harganya mungkin agak mahal. Orang sudah tidak nyaman untuk menyuntikan narkoba tapi sekarang trennya dihisap atau dikonsumsi secara oral. Kita pernah hit by epidemi, kita pernah menerima epidemi terbesar itu awal tahun 2000an ketika narkoba suntik waktu itu merajalela,” bebernya.

Oleh karenanya, Bagus mengajak seluruh masyarakat Kota Bandung lebih terbuka terhadap persoalan HIV/AIDS ini. Selain membuka diri untuk memeriksakan kondisi kesehatan, juga lebih terbuka untuk mencari pengetahuan seputar HIV/AIDS guna menekan stigma ODHA di tengah masyarakat.

“Itu membuktikan bukan pada masalah moral sebenarnya, tapi ini masalah sosial. Masalah pengetahuan yang rendah, hoaks dimana-mana dan kita terima begitu saja,” katanya. ***