Bandung – Setiap perempuan berhak untuk memilih kehidupannya. Mereka bisa melakukan apapun yang membuatnya bahagia. Bagi Puti Ceniza Sapphira atau yang akrab disapa Chica, perpustakaan anak Pustakalana adalah pilihan hidupnya.

Chica adalah pendiri sekaligus direktur Pustakalana, sebuah perpustakaan khusus anak yang berlokasi di Jalan Cibeunying Selatan, Cihapit, Kota Bandung. Perpustakaan tersebut dibuka sejak tahun 2015. Hingga kini, koleksi bukunya telah mencapai 4500 judul.

Kendati telah sukses membuka perpustakaan yang ramah anak, ia mengaku tak mudah memulai dan menjalani kegiatan yang dicintainya itu. Tantangan untuk menjalani ‘passion’-nya itu selalu membayanginya.

“Awalnya dari keluarga tidak mendukung, kedua orang tua dan mertua saya menentang karena berpikir siapa yang mau ke perpustakaan. Tapi kemudian saya bisa membuktikan bahwa ada hal-hal besar yang bisa dilakukan melalui perpustakaan,” ungkap Chica saat ditemui di perpustakaannya, Jumat (20/4/2018).

Bagi Chica, perpustakaan tidak sekadar dijadikan tempat membaca yang seringkali dianggap membosankan. Melalui gagasan kreatifnya, ia mengubah citra perpustakaan menjadi ruang belajar yang menyenangkan dengan berbagai program aktivasi yang dilakukan.

Gagasan itu muncul saat ia tinggal di Amerika Serikat untuk mendampingi suami melanjutkan program doktoralnya. Di sana, Chica melihat ada perpustakaan yang dirancang khusus untuk anak. Di perpustakaan tersebut anak-anak bisa bermain, bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, dan menjadi lebih dekat dengan orang tuanya. Sementara itu, ia merasa belum menemukan hal semacam itu di Indonesia.

“Saya merasa anak Indonesia belum merasakan hak istimewa seperti itu. Bahwa kalau masalah kita adalah kurangnya minat baca pada anak mungkin karena kita dari kecil tidak didekatkan sama buku. Kita tidak diperkenalkan kepada perpustakaan yang menyenangkan. Jadi saya ingin merubah pola pikir orang-orang yang mengasosiasikan perpustakaan adalah tempat yang membosankan, yang sepi, menjadi tempat yang terbuka, menyenangkan, dan bisa menjadi sarana bonding (pengikat) bagi anak dan pendampingnya,” paparnya.

Saat menjalankan perpustakaannya, ia dibantu oleh para relawan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki minat yang sama tentang literasi. Lambat laun, ia mulai menempatkan pustakawan profesional untuk mengelola Pustakalana. Tim yang dibentuknya itu kini telah berjumlah 45 orang yang berasal dari berbagai daerah.

Kini, ia bahagia bisa membangun sebuah ruang literasi yang menyenangkan bagi anak. Keputusannya untuk memilih menjadi ibu rumah tangga dan memiliki perpustakaan telah membawanya menjadi salah satu aktivis perempuan yang ternama di bidang literasi, meskipun idenya itu sempat tidak mendapat dukungan.

“Sepulang saya dari Amerika, orang tua bertanya tentang apa yang akan dilakukan setelah itu. Saya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Karena bagi saya menjadi ibu itu nggak tidak mudah,” tuturnya.

Selain itu “Harus banyak kemampuan manajerial untuk memastikan di rumah aman dan anak-anak mendapatkan pendidikan yang cukup. Dan yang paling penting, seorang ibu harus memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri,” ungkap Chica yang bergelar master di bidang Manajemen Komunikasi.

Bagi Chica, aktualisasi diri ini sangat penting. Seorang perempuan bisa menjadi ibu rumah tangga, namun ia tetap bisa melakukan kegiatan di luar rumah. Menurutnya, aktualisasi diri juga penting dilakukan oleh perempuan yang memutuskan untuk bekerja. Hal yang terpenting, setiap perempuan berhak bahagia atas keputusannya.

“Saya percaya bahwa setiap perempuan memiliki pilihannya. Apapun pilihannya harus membuatnya bahagia. Tapi sebagai perempuan, saya juga memiliki kodrat yang saya terima dengan penuh, yaitu menjadi seorang ibu. Itulah kekuatan perempuan yang sesungguhnya, saat dia bisa berperan penuh untuk keluarga,” ucap ibu dua anak itu.***

Sumber: rilis Humas Pemerintah Kota Bandung