Kartini Masa Kini, Dewi Wulan: Penyintas TBC, Pendiri Yayasan Terus Berjuang

Bandung – Penyakit Tuberculosis (TBC) bukan penyakit sembarangan. Penyakit karena bakteri Mycobacterium Tuberculosis ini menyerang dan merusak jaringan tubuh manusia. Tubercolosis bahkan merupakan infeksi penyebab kematian nomor satu di Indonesia.

Di Kota Bandung sebanyak 10.033 orang terjangkit penyakit ini pada tahun 2018. Jumlah tersebut meningkat dari 9.632 orang di tahun sebelumnya.

Tak semua orang memiliki pengetahuan yang cukup untuk melawan penyakit ini. Secara medis, para penderita TBC harus mengobati secara teratur dan disiplin minimal selama 6 bulan. Jika tidak, kondisi akan semakin parah, salah satunya akan berakibat pasien menjadi kebal terhadap obat.

Hal itu juga yang terjadi pada Dewi Wulan, seorang penyintas TBC yang kini mendirikan Yayasan Terus Berjuang (Terjang). Yayasan ini bergerak untuk mendampingi para penderita TBC, terutama pasien yang sudah kebal obat, atau lebih dikenal dengan TB Resisten Obat (TB-RO).

Sejak sembuh dari TB-RO, Dewi merasa memiliki kewajiban untuk membantu para penderita TB-RO untuk terus berjuang melawan penyakitnya. TB-RO dikenal sebagai penyakit TB yang sudah kronis sehingga memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Dewi pun ingin turun tangan membantu mereka yang sedang berjuang.

“Kami mendampingi dan melacak pasien yang mangkir (dari pengobatan). Pasien yang TBC ini kan pengobatannya lama, jadi memang tidak boleh putus satu haripun. Jadi kalau ada yang mangkir satu hari, kita melacak ke rumahnya. Kita tanya alasannya kenapa tidak minum hari ini. Setelah tahu alasannya, kita edukasi agar pasiennya kembali mau pengobatan,” beber Dewi.

Berbeda dengan pasien TBC biasa yang bisa minum obat di rumah, penderita TB-RO harus disuntik dan minum obat di rumah sakit atau Puskesmas. Hal itu harus dilakukan setiap hari selama dua tahun dengan interval waktu yang sama.

“Jangan sampai waktunya pun berpindah-pindah. Reaksi obatnya itu kan hanya 24 jam, jadi kalau hari ini pukul 10.00 WIB, besok pukul 12.00 WIB. Berarti ada jeda dua jam untuk si kuman itu berkembang biak,” jelas Dewi.

Tak hanya itu, perjuangan penderita TB-RO juga lebih berat ketimbang TB biasa. Efek samping obat yang menyakitkan membuat para pasien harus memiliki mental yang kuat agar tetap berjuang untuk sembuh.

“Efek samping yang kita rasain bukan hanya mual biasa, tapi mual pusing. Pusingnya sampai keleyengan, terus sampai kita kesulitan untuk berjalan juga. Depresi juga ada, dan menyebabkan untuk bunuh diri pun ada,” ucapnya.

Itulah sebabnya Dewi terus memotivasi kepada para penderita TB-RO agar terus berobat meskipun harus berjuang keras. Namun, niat baik itu pun bukan tanpa hambatan. Ia sering mendapat penolakan dari pasien bahkan hingga diusir.

Hal yang membuat Dewi terus bergerak membantu para penderita TBC juga karena para pasien ini sering menerima stigma negatif dari orang di sekelilingnya. Dewi bahkan ditinggalkan oleh mantan suami. Ia pernah diseret keluar oleh keluarga mantan suaminya karena menderita TBC yang tak kunjung sembuh. Beruntung, ayah dan ibunya terus menguatkannya agar sembuh.

“Dulu saya memang ditinggalkan oleh suami saya dan saya mendapatkan stigma dan diskriminasi. Itu karena pengetahuan masyarakat tentang TBC itu kan masih kurang. Jadi tahunya mereka (TBC) itu langsung menular. Padahal menular itu hanya lewat udara. Jika diobati, penularannya berkurang,” kenangnya.

Oleh karena itu, ia meminta kepada masyarakat agar tidak lagi memberikan stigma buruk kepada penderita TBC. Masyarakat harus menguatkan dan memotivasi para penderita agar berobat secara rutin dan disiplin.

“Insya Allah kalau TBC itu asalkan minum obatnya teratur, tepat waktu, dan disiplin, pasti sembuh. Buktinya saya. Memang butuh perjuangan, tidak mudah,” pesan Dewi.

“Dukungan dari keluarga dan orang terdekat memang lebih penting, tapi kalaupun kita misalkan tidak mendapatkan dukungan dari keluarga, yang penting semangat dari diri kita untuk diri kita,” ucapnya.

Kini, Yayasan Terus Berjuang terus memberikan pendampingan kepada para pasien. Yayasan ini telah berkembang di tiga kota di Indonesia, yakni Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kota Cirebon. Di Kota Bandung, yayasan ini beralamat di Jalan Jurang Gang Pa Ehom No. 23 Bandung.***